Bab 76 - Tragedi di Desa Badril (3)
Gyl sudah berkata, nasib mereka ada di tangan Shira sekarang.
Lagi pula, masalah ini, bermula karena tangan Shira dipotong. Ia banyak mengalami kerugian hari ini.
Pangeran Tua Tatalghia menelan ludahnya. Ia mengingat Shira mengancam keponakannya ketika ia mengata-ngatai Keluarga Yashura sebelumnya.
Sekarang apa yang akan dilakukan Shira jika ia tahu yang membuatnya kehilangan tangan adalah Pangeran Tatalghia muda?
Pangeran Tua Tatalghia, Pangeran Tatalghia muda, bahkan Gyl.
Mereka menunggu pemuda itu mengucapkan sepatah kata...
“Lepaskan saja mereka.”
Shira pun berkata demikian.
Arwah Baik Hati mengerutkan alisnya.
“Tadi kamu bilang bakal motong lidah bocah ini. Gak jadi?”
“Itu kan tadi,” jawab Shira singkat.
“Tanganmu dipotong, apa kamu gak marah?”
“Iyalah aku marah. Tapi Mas sudah bunuh tiga orang mereka. Apa tanganku lebih berharga daripada tiga nyawa manusia?”
Gyl terdiam. Dua pasangan pangeran tatalghia masih gemetar ketakutan.
“Dasar domba. Jadi yang tadi cuma menggertak aja. Bocah, pada dasarnya kamu lembek. Kalau kamu begini terus, anjing macam mereka bakal terus-terusan datang ke depan rumahmu.”
“Itu masalahku sendiri,” kata Shira. “Tapi kalau pangeran itu mati, ini bakal menjadi masalah semua orang.”
Gyl mendengus. Ia tahu bagaimana sifat Shira yang sebenarnya tapi ia tak menyangka bakal seperti ini.
“Shira, apa kamu seorang pasifis?”
“Gak, Mas. Aku ini orangnya pengecut.”
“Hehe. Jangan merendah. Aku tau kamu sebenarnya kamu mau membunuh anjing ini dengan tanganmu sendiri. Hehe.”
Shira tak membalas semangat Gyl. Ia melihat ke arah Pangeran Tua Tatalghia, yang nampak lebih cerdas ketimbang keponakannya. “Mohon maaf atas kekacauan ini. Kami pihak Keluarga Yashura gak menyangka kejadiannya akan menjadi seperti ini.”
Pangeran Tua Tatalghia berusaha menguatkan dirinya. “Tuan Muda Yashura bercanda. Masalah ini awalnya disebabkan oleh keponakanku.”
swiiish swiiish swiiiish
Satu per satu sosok berbaju hitam dengan wajah yang tertutup kain muncul di situ. Membentuk lingkaran. Bisa dikenali dari lekuk tubuh kalau mereka semua adalah wanita.
Awalnya sepuluh, dua puluh, hingga lebih dari lima puluh mengelilingi Shira, Gyl, dan dua pangeran Tatalghia Kingdom.
Aroma darah segar menyeruak dari tubuh mereka.
Purple Bloom Agent, pasukan elite Purple Garden Sect!
Wajah pucat Pangeran Tua Tatalghia pun menjadi semakin tertekuk dalam. Dalam panik ia berseru kepada keponakannya: “Cepat bersujud minta maaf kepada Tuan Muda Yashura!”
“Maafkan aku! Jangan bunuh aku!” rengek Pangeran Tatalghia sambil membentur-benturkan jidatnya ke lantai.
Shira hanya melihat pangeran menyedihkan ini dengan tatapan dingin. Walaupun Shira memberikan pengampunan bukan berarti ia dengan tulus memaafkan.
“Kabut Ungu, apa kamu yakin dua pangeran ini bisa pergi dengan selamat? Akan banyak masalah besar jika Pangeran Tatalghia mati di sini.”
Kabut Ungu membalas dari bawah kesadaran Shira. “Purple Garden Sect hanya membalas untuk Master. Tapi jika Master menyuruh mereka berhenti, mereka gak akan membantah.”
“Kok bisa kayak gitu. Apa kamu yakin?”
“Aku yakin soal Purple Garden Sect. Tapi kalau masalah Gyl...”
Shira melihat ke arah arwah itu. Sudah setahun mereka saling kenal dan cukup akrab. Tapi kepribadiannya, hanya permukaan saja yang Shira lihat.
“Mas Arwah Baik Hati, dia sudah minta maaf. Lepaskan saja pangeran itu. Ayo kita pulang.”
“Cih, bocah. Sejak kapan kamu jadi gak asyik gini.”
“Aku gak mau ada masalah lagi.”
Gyl mendengus tak puas. Tapi ketika ia ingin menampik lagi, tiba-tiba saja hawa membunuh perempuan-perempuan Purple Bloom Agent meledak. Mengelilinginya sebagai ancaman tak kasat mata.
Ia paling tak menyukai bermusuhan dengan perempuan. Jadi Gyl hanya bisa mengeluh dalam hati.
“Tuan Arwah, tolong pertimbangkan lagi,” pinta Pangeran Tua Tatalghia. “Keponakanku adalah salah satu pangeran yang berkesempatan untuk diangkat menjadi raja. Jika dia mati di sini Tatalghia Kingdom akan mati-matian membalas. Akhirnya pun yang rugi malah semua orang.”
Pangeran Tua itu berpengalaman. Ia bisa menebak apa yang dikhawatirkan Shira, memanfaatkannya untuk membuat Gyl mundur.
Ia pun menunggu balasan arwah itu dengan jantung berdebar kencang.
“Oke, oke. Aku gak akan membunuh pangeran bermuka kambing ini.”
Setelah ia berkata demikian, suasana menjadi melega. Shira mendesahkan napas panjang. Hawa membunuh Purple Bloom Agent mereda. Pangeran Tatalghia seperti baru saja melompat dari pintu neraka barusan.
“Aku akan membiarkan pangeran muka kambing ini hidup. Tapi Tatalghia Kingdom masih harus membayar karena sudah membuat Shira kehilangan tangan kanannya.”
click Gyl menarik palu pistol revolvernya.
Dan mengarahkan moncong pistol tersebut ke kepala Pangeran Tua Tatalghia.
DOR!!!
Kepala Pangeran Tua Tatalghia meledak terkena peluru Gyl. Isi kepalanya keluar semua, darah tumpah membasuhi lantai.
Bahkan setelah kematiannya, tubuh Pangeran Tua Tatalghia kejang-kejang kecil.
Syok yang sangat besar menghantam jiwanya yang sudah lepas dari tubuhnya yang mati.
Pangeran Tatalghia, saking ketakutan dan terkejut melihat pamannya mati dengan cara mengenaskan seperti itu, langsung pingsan tak sadarkan diri.
Tak ada yang bisa menghentikan Gyl membunuh Pangeran Tua Tatalghia tadi.
Bahkan anggota Purple Bloom Agent yang ada di situ, tak tahu harus berbuat apa. Mereka hanya diperintahkan datang ke situ untuk membantu memberi tekanan kepada musuh saja.
“Mas Arwah, aku kira kita berteman,” kata Shira sambil tersenyum pahit.
“Kita masih sohiban. Aku cuma janji gak bunuh pangeran muka kambing ini kan? Aku gak janji bakal menahan diri untuk bunuh yang lain. Hehe.”
Gyl masih santai. Tapi semua orang tahu, semenjak kematian Pangeran Tua Tatalghia, Keluarga Yashura akan menjadi musuh bebuyutan Tatalghia Kingdom sekarang!
“Awalnya aku gak mau membuat masalah untukmu bocah. Tapi aku diberitahu kalau waktuku cuma lima tahun. Jangan diambil hati,” mungkin karena Gyl menghargai pertemanan mereka, ia menjelaskan diri kepada Shira.
Shira tak membalas. Ia terdiam, menghembuskan napas panjang, kemudian berkata sambil berbalik. “Aku pulang. Mau tidur aja.”
AKHIR BUKU 2, “TRAGEDI DI DESA BADRIL”