Bab 83 - Kembali ke Gunung Desa Badril
Shira mengikuti tiga anak muda yang mengajaknya hunting monster dan hewan buas dari belakang.
Langkahnya pelan dan teratur. Bony dan dua anak buahnya juga tak selang-seling mengalihkan perhatian di perjalanan.
Tak seperti yang dibayangkan, ternyata masih ada beberapa orang yang aktivitasnya tak terganggu sama sekali dengan kabar dendam Keluarga Yashura dan Tatalghia Kingdom. Walau sebagian kegiatan seperti perekonomian desa menjadi lumpuh, tetapi orang-orang ini harus tetap bekerja untuk mengisi perut.
Masih ada beberapa toko yang buka. Hampir semuanya milik penghuni asli Desa Badril. Seperti toko senjata Pak Tur, toko ramuan Bibi Falia, toko serba ada milik menantu Kepala Desa Badril, dan lain sebagainya. Namun toko yang merupakan cabang dari desa lain sudah tutup semua sekarang.
Bahkan di kaki gunung Desa Badril pun, yang biasanya ramai oleh para pemburu, petarung yang ingin berlatih, serta party anak muda yang ingin berpetualang, sudah sepi seperti beberapa toko yang berdiri di atas tanah kuburan.
Bahkan angin kering yang melolong pun, merasa kasihan kepada kondisi Desa Badril sekarang.
Karena sepi pelanggan, beberapa pemilik toko terpaksa untuk menurunkan harga untuk saling bersaing merebut satu-dua orang yang datang untuk naik ke atas gunung Desa Badril.
“Mas Pilek, sini-sini! Beli ramuanku sini ada diskonnya!”
“Beli yang di tokoku aja! Beli dua gratis satu!”
“Yang sebelah nipu! Mending kemari aja!”
Persaingan antar toko pun tiba-tiba semakin sengit ketika Bony dan kawan-kawan datang ke kaki gunung Desa Badril. Ada seorang penjual ramuan stamina dan mana yang selalu memasang wajah malas dan mengantuk. Kali ini, penjual itu segar bugar berteriak untuk memancing empat calon pelanggan yang baru saja datang.
Ajukan datang dari mana-mana. Shira malah merasa canggung dan terganggu oleh suasana para penjual di kaki gunung Desa Badril yang tiba-tiba memaksa seperti ini.
“Ayo kita beli di tempat biasa,” ajak Bony dengan suara seraknya. Ia pun berjalan memimpin tiga anak muda yang lain di depan.
Toko yang mereka hampiri adalah toko serba ada yang menjual hampir semua barang yang dibutuhkan sebagai persediaan berpetualang di gunung serta di hutan belakang gunung Desa Badril, atau membeli beragam inti monster, daging hewan buas, atau apa pun hasil buruan para petarung yang kembali.
Pemiliknya adalah seorang pria paruh baya gemuk yang selalu mengenakan jubah berwarna gelap longgar. Biasanya wajahnya yang berminyak selalu tertoreh senyum yang membuatnya gampang berteman dengan semua orang dari berbagai kalangan. Orang-orang memanggilnya Pak Gendut.
“Pak Ndut, seperti biasa!” Pilek menyahut sambil menaruh beberapa keping logam perak di meja toko.
Pak Gendut bangkit dari duduknya. Tak seperti pembawaannya yang biasa, wajahnya kini lesu dan tak ada lagi ekspresi riang khas Pak Gendut seperti dulu.
“Aku taruh setengah harga,” kata Pak Gendut dengan nada lesu. “Apa kalian mau bayar setengah atau beli dua kali lebih banyak dari biasanya.”
Pilek melihat ke arah Bony, meminta aba-aba. Tapi Bony tetap diam tak membalas. Pilek hampir menepuk jidatnya. Bagaimana bisa ia lupa sekarang bos mereka adalah Shira? Bony sudah beberapa kali mengatakan kepada Pilek dan Polio untuk berhenti menganggapnya sebagai bos besar mulai dari sekarang.
Setelah Pilek melihat ke arah Shira, pemuda bertangan satu itu mengangkat bahunya. “Itu uang kalian. Serah mau digimanakan.”
Akhirnya Pilek pun membeli dua kali lebih banyak. Ketika Pak Gendut membawakan barang yang mereka beli, ia mengeluh keputusannya menghabiskan uang simpanannya untuk mengisi penuh gudangnya beberapa hari sebelum duel antar Shira dan Frane Blackwood dilaksanakan. Ia mengira duel tersebut adalah peluang untuknya untuk berbisnis ria. Siapa yang menyangka malah terjadi malapetaka.
Biasanya Pilek dan Polio kalau mendengar keluhan kawan yang mereka kenal akrab langsung membuat mereka ceria. Begitulah sikap dua anak buah Bony. Tetapi semenjak Polio diculik oleh Pangeran Edicha, tak tahu apa yang terjadi pada dirinya saat itu, Polio selalu memasang wajah suram.
Shira, yang merupakan akar terjadinya kegelisahan seluruh Desa Badril, hanya diam saja sembari mendesahkan napas panjang dalam hati.
Kemudian empat pemuda itu naik ke atas gunung. Pilek pun, sebagai yang paling santai hubungannya dengan Shira di kelompok itu, bertanya, “Bos Shira, sekarang, monster apa yang paling bos pingin buru?”
Shira mengangkat alisnya, merasa tak terbiasa dipanggil bos oleh orang-orang ini. Tapi kalau ditanya demikian, ia sudah mengiapkan jawabannya.
“Raja Gorila!”
Suara Shira pelan, tapi penuh dengan tekad. Ia akan menyelesaikan konfliknya dengan raja gorila hari ini.
Bony mengangguk setuju diam-diam.
Dan mereka pun berangkat untuk mencari Raja Gorila.