Bab 87 - Opini Mama Ross

Hari sudah hampir menggelap. Daging ular mentah, sayur mayur yang sudah dipotong-potong, serta bumbu rempah-rempah sudah siap. Anak-anak muda itu semakin sibuk saja. Akhirnya pun mereka membagi tugas supaya ketika malam benar-benar tiba mereka bisa tenang beristirahat.

Awalnya Merly dan Polio bertugas memasak, sedang Shira membantu dengan hanya mengaduk sup di panci menggunakan sebuah sendok kayu. Karena kecacatannya tugas Shira lebih ringan daripada yang lain. Di sisi lain Bony dan Pilek bertugas mendirikan tenda. Semua orang menunjukkan keseriusan mereka untuk menyelesaikan tugas masing-masing.

Tapi si Merly Yurin, ia tak tahu apa-apa tentang memasak.

Tujuh belas tahun hidup di keluarga bangsawan dari desa tingkat kedua, walaupun sebelumnya status sosialnya tak begitu tinggi, Merly hampir tak pernah datang ke dapur. Di saat gadis-gadis Desa Badril berlomba-lomba untuk meningkatkan kemampuan bermasak mereka dan memamerkannya di ajang tahunan desa, yang Merly mengerti hanyalah prosedur untuk memasak air.

Karena itu, Merly sering melakukan kesalahan. Bahkan hampir membumbui sup dengan gula ketika Polio menyuruhnya untuk menaburkan garam.

Bahkan Shira yang bertugas mengaduk masakan saja lebih banyak tahu ketimbang gadis itu. Dengan sabar Shira menjelaskan cara terbaik untuk Merly menyelesaikan tugasnya. Terkadang juga memperingatinya ketika ia hampir melakukan kesalahan yang bisa merusak supnya.

“Kalau kamu gak tau apa-apa mending bantu Bos Bony dulu sana,” kata Polio sudah tak sabaran melihat kecanggungan Merly.

Gadis tersebut menekukkan wajahnya ketika mendengar ucapan Polio. Walau nada Polio terdengar biasa saja, tetapi apa yang ia ucapkan itu, membuat gadis bangsawan yang awalnya angkuh dan elegan ini hanya bisa menelan sakit hatinya.

Shira melihat Merly dengan wajah datar, tak berkata apa-apa. Tak ada yang tahu apa yang ia pikirkan.

Tapi ketika melihat Merly kesulitan untuk menjaga kontak mata ketika berbincang, mata Shira semakin prihatin melihat gadis tersebut. Merly adalah tuan putri yang tersesat, menumpang di rumah para kurcaci.

Sayangnya Merly bukanlah tuan putri seperti yang ada di dongeng-dongeng. Ia terlali polos, tak mengerti banyak tentang dunia luar kecuali gaya hidup yang ia jalani sebelumnya.

Karena itu, para kurcaci pun mengkritik tuan putri.

“Apa kamu punya ‘Exquisite Firewood Set’?” tanya Bony kepada Merly.

‘Exquisite Firewood Set’ adalah magic item yang termasuk dalam kategori alat bantu kehidupan sehari-hari. Biasanya item-item yang seperti ini lebih murah ketimbang kategori lain, namun selalu digemari terutama oleh kaum bangsawan. Karena hidup mereka akan lebih mudah dan nyaman jika magic item selalu menemani.

Dan bukan kebetulan Bony bertanya kepada Merly tentang ‘Exquisite Firewood Set’. Kegunaan item ini sangat beragam dan bermanfaat, namun hanya terbatas untuk keperluan bertahan hidup di alam rimba seperti ini.

Mengingat Merly Yurin datang dari Keluarga Yurin, yang rupanya cukup kaya, Bony yakin tuan putri seperti Merly tak datang ke sini tanpa membawa barang-barang mewah.

Namun sebagai jawabannya, wajah lesu Merly hanya menggeleng-geleng. “Aku gak punya.”

“Kalau begitu aku pinjam dulu uangmu, aku dan Pilek bakal turun gunung dan membeli barang untuk gantinya.”

Tepat setelah berkata demikian, Bony membuka telapak tangannya, menggantung dan menunggu uang koin di jatuhkan di atasnya.

Tapi uang koin yang dinanti, tak datang juga.

Wajah Merly yang lesu semakin tertekuk. Ia tak menjawab apa-apa di saat Bony sia-sia menengadahkan tangannya.

Ekspresi Bony pun menjadi sangat dingin. “Gak punya uang, ck! Bukannya kamu anak keluarga kaya?”

Merly semakin tak berkutik.

Ia tak bisa mengatakan, faktanya, semua uang dan barangnya raib dipalak om-om bernama Arwah Baik Hati!

Bony terlalu malas untuk mengurusi Merly lagi. Ia pun berkeliling untuk meminjam uang anggota yang lain. Kemudian pergi bersama Pilek untuk membeli barang yang mereka butuhkan.

Setelah itu, Merly semakin lama semakin diam. Jika Polio atau Shira tak memanggilnya, ia hening seperti angin dingin.

“Sikapnya Bony pas di depan orang kaya berduit dan yang lagi berdompet tipis, beda jauh...” Shira mengingat ia pernah melihat Bony, tersenyum, ramah, bersahaja, baik hati, tidak sombong, sopan, santun, dan bertutur kata baik ketika ‘berteman’ dengan pemuda bangsawan. Tapi ketika Merly di sini, sikap Bony berbeda seratus delapan puluh derajat ketimbang waktu itu.

Polio mendengar komentar Shira tentang Bony dan ikut berkata, “semenjak dia hampir dibunuh di pasar waktu itu, sikap Bos Bony memang semakin jutek. Tapi ya... memang pada dasarnya dia juga gak suka sama orang yang gak berguna.”

“Dulu aku juga gak berguna, jadi gara-gara itu aku diolok-olok terus sama kalian semenjak kecil,” Shira tersenyum masam sambil menggeleng-gelengkan kecil kepalanya.

“Bos Shira bercanda, hehe, dulu beda sama sekarang. Semenjak duel Bos Shira dengan Frane Blackwood, dan tragedi Tatalghia Kingdom di balai desa, kami rakyat jelata hanya bisa berlutut menyembah-nyembah dari bawah di hadapan Bos Shira.”

Di mata Polio berkilat rasa hormat kepada pemuda di depannya ini. Semenjak semua orang percaya Keluarga Yashura berani membunuh Pangeran Tua Tatalghia, walau hal tersebut menyebabkan teror dan ketakutan warga desa, namun tetap saja orang-orang mengakui superioritas Keluarga Yashura.

Bahkan raksasa seperti Tatalghia Kingdom hanya dipandang sebelah mata oleh Keluarga Yashura. Tak perlu lah mereka disandingkan dengan orang-orang desa ini.

Shira tak berkomentar apa-apa lagi setelahnya. Mengaduk masakan dengan ekspresi santai.

“Aku isi ulang air dulu sebelum gelap,” kata Polio, bangkit, kemudian pergi ke arah mata air di arah barat mereka.

Sekarang, Shira dan Merly pun sendirian.

Merly semakin panik. Jantungnya berdegup kencang ketakutan mengingat apa yang harus ia lakukan agar Gyl mau mengampuninya.

Shira melihat gadis itu nampak terbebani oleh sesuatu. Hanya saja ia tak tahu apa yang dipikirkan si gadis. Ia merasa bukan haknya untuk mencampuri urusan Merly terlalu banyak tapi Shira merasa bila suasana hening seperti ini berlanjut, hawa di antara dua pemuda pemudi ini akan menjadi sangat canggung.

“Bisa gantian ngaduk supnya?” Shira pun berkata. “Tanganku pegal.”

Shira memberikan sendok masak kepada Merly. Kemudian pura-pura menyibukkan diri dengan hal-hal sepele. Namun karena tak banyak yang ia bisa lakukan dengan satu tangannya, akhirnya pun Shira membaringkan punggung di pohon, memejamkan mata dan tidur.

Diam-diam Merly menyimak figur pemuda dari sudut matanya. Memperhatikan air muka damai Shira yang tengah terpejam. Wajahnya lumayan tampan, tapi postur badannya terlalu biasa. Bila dinilai dari penampilannya, Merly sudah bertemu lusinan lebih pemuda yang lebih gagah dan jantan dari padanya. Gelagatnya pun terlihat pelan dan malas seperti tak memiliki gairah hidup, tipe orang yang selalu menghemat tenaganya di situasi santai sekali pun.

Tapi sesuatu yang berbeda menyeruak di hati Merly. Semakin lama ia mencuri pandang, semakin rasa penasaran menguasai benaknya.

“Merly sayangku, kamu terlalu bersemangat,” ujar sebuah suara dalam benak Merly.

“Ah!”

Merly tersentak dari lamunannya. Ia terlalu asyik dengan pikirannya sendiri sampai lupa kalau Mama Ross, yang membuat kontrak arwah-pelayan dengannya bisa merasakan tanda-tanda emosinya.

Berpikir bila Mama Ross bisa menebak apa yang ada di hatinya, Merly tak bisa menahan pipinya menjadi merah merona.

“Merly, bagaimana menurutmu pemuda bernama Shira itu?”

Merly mengambil banyak waktu sebelum menjawab. “Aku gak tau.”

“Mm. Karena kamu gak tau itu, makanya bakal jadi bahaya.”

“Bahaya? Mama Ross... maksudnya?”

“Gara-gara kamu gak tau itu, dalam hati pasti kamu menebak-nebak. Seperti apa orangnya Shira.”

Merly tak menyanggah. Ia memang sedikit penasaran. Samar intuisinya berkata Shira bukan lagi anak muda yang dulunya ingin dijadikan murid ketiga oleh gurunya. Shira yang sekarang, bagi Merly, lebih stabil dan lebih matang. Entah dari bagaimana ia bergerak, memandang, dan sikap tuturnya, Merly merasakan aura yang lebih dewasa sekarang.

Lalu sikap pasifnya tidak lagi terasa menyebalkan. Tidak lagi sikap dinginnya yang dikarenakan sikap malas itu membuat Merly risih.

Awalnya Merly tak menyadari hal ini. Tetapi setelah beberapa jam bersamanya, baru Merly melihat perbedaan Shira yang kemarin dan Shira yang sekarang.

Sosok Shira seperti pohon tua yang berdiri tegak di sebuah lapang kosong. Hidup tahun demi tahun, daunnya gugur dan kemudian tumbuh lagi, nampak tak begitu peduli pada perkara dunia. Orang-orang pun hanya lalu lalang tak begitu peduli akan kehadirannya. Tapi bila hujan tiba, orang-orang berbondong-bondong untuk berteduh di bawahnya. Bahkan ketika ia tak melakukan apa-apa, sosoknya yang terbuka dan teduh membuat orang-orang merasa tak kedinginan.

Tapi tentu saja, itu hanyalah apa yang ada di benak Merly.

“Anakku sayang, karena tekanan ini, pasti kamu membayangkan hal yang berlebihan.”

“Maafkan aku, Mama Ross.”

Terdengar napas panjang di benak Merly. “Merly sayangku. Mama mengerti apa yang kamu rasakan sekarang. Mama gak pernah menyalahkanmu. Apa yang diminta oleh arwah itu memang bukanlah perkara sepele. Kehormatan dan kebahagiaanmu di masa depan di pertaruhkan sekarang.

“Karena kamu gak bisa melepaskan dari takdir ini, pelan-pelan kamu mulai berharap yang terbaik dari situasi ini. Lalu mulai menciptakan bayangan ideal. Barangkali kamu berpikir, berakhir bersama pemuda ini, bukanlah hal buruk. Bukannya begitu?”

“Mama, aku juga memikirkan keluargaku. Bila nanti tiba-tiba aku memiliki anak, tapi gak ada yang tau siapa ayahnya...”

“Ada beberapa alasan mengapa Mama gak mau urusan ini gak bakal bisa diselesaikan dengan hanya menikah. Yang pertama untuk menjauh dari arwah itu. Yang kedua, kepribadian anak muda bernama Shira sendiri, gak bakal cocok untukmu.”

Merly hanya menyimak. Ia tak bisa membantah ucapan Mama Ross yang semasa hidupnya, lebih banyak makan garam ketimbangnya makan nasi.

“Wajar kalau cewek sepertimu tertarik dengan pemuda pendiam seperti Shira. Hati perempuan terlalu rentan di hadapan laki-laki misterius. Tapi menerka-nerka dalam hati, hanya akan membuat delusi nanti.”

Merly mengangguk dalam hati. Percaya dan pasrah pada apa yang dikatakan oleh Mama Ross.

“Lebih baik jangan membuang-buang waktu lagi,” kata Mama Ross, nadanya menjadi lebih serius. “Keluarkan ramuan yang Mama siapkan waktu itu.”

Merly gumpalan kain, yang membaut sebuah botol kecil berwarna biru langit. Dari warna dan teksturnya membuat orang bakal mengira ramuan ini berefek menenangkan. Tapi tak akan ada yang menyangka bila kenyataannya, efek yang ramuan ini miliki malah sebaliknya.

“Tuangkan di api. Biarkan gas uapnya membaur dengan udara. Ramuan ini hanya berfungsi bila laki-laki menghirupnya.”

Merly melakukan apa yang diperintahkan oleh Mama Ross. Tapi ketika ia menumpahkan cairan ramuan itu di api, tangannya gemetar hebat. Seluruh tubuhnya merinding dan tulangnya terasa ngilu. Mulai saat ini, gadis itu akan melangkahkan kaki ke dunia yang sama sekali tak ia kenali. Hal itu membuatnya takut dan gugup luar biasa.

Di saat yang bersamaan, Shira yang bermalas-malasan mulai merasakan sesuatu yang janggal.

Imajinasinya tiba-tiba menjadi liar. Tak terbendung dan tak bisa ia kuasai. Dengan kalap banyak adegan silih berganti di depan benak pemuda itu. Dan entah mengapa semakin detik demi detik berlalu, semakin nyata terasa imajinasi liar menguasai dirinya.

Apa yang dilihat Shira di kepalanya, bahkan bisa membuat om-om hidung belang tersipu malu.

Tubuhnya pun tiba-tiba menjadi panas. Terutama bagian bawahnya. Akal sehatnya perlahan-lahan menyelip, meninggalkan Shira rentan pada serangan emosional apa pun.

“Waduh, gak beres ini!” desis Shira dalam hati. Kendali pada dirinya berada di ujung tanduk, sebentar lagi Shira bisa merasakan insting hewannya akan meluap-luap dan mengendalikan dirinya.

“Master, berikan kendali elemen kabut ungu padaku!” seru Kabut Ungu dengan nada genting. Hanya itu suara waras terakhir yang bisa didengar Shira sebelum ia kehilangan kendali tubuhnya.

“Mama Ross, apa yang harus kulakukan sekarang?”

“Pelan-pelan. Kamu punya cukup waktu. Ramuan tadi bisa menaklukkan laki-laki mana pun dalam hitungan menit. Jadi gunakan waktu luangnya untuk mempersiapkan dirimu.”

“...”

Sebuah tangan lembut meraba penasaran tubuh Shira, tetapi gemetar karena enggan dan gugup. Setelah itu, samar-samar Shira melihat siluet seorang gadis melonggarkan bajunya.

Entah apa yang terjadi selanjutnya, Shira tak tahu banyak.

Karena kini, tiba-tiba saja, kesadaran Shira terpental dan tiba di depan gerbang berkabut ungu misterius yang ada di alam bawah sadarnya itu.