Bab 64 - Salahkan Angin yang Berhembus

Angin berhembus sejuk.

Di Balai Desa, ada taman bunga. Biasanya ada orang yang berkunjung di sini. Tapi semuanya ramai ada di pondong tempat Shira dan Frane akan berduel.

Sekian puluh menit yang lalu.

Di taman bunga ini, Lyla tengah duduk di rumput hijau, seorang diri. Hanya ditemani Momon bermain-main sambil menikmati keindahan bunga yang berwarna merah, biru, dan kuning.

Angin memang berhembus sejuk. Tapi jika ia sudah tega, akan sekuat tenaga bertiup, membawa butir-butir debu yang mengharuskan Lyla menutup keras matanya setiap kali itu terjadi.

Tuing, tuing. Momon melompat-lompat mengejar ranting yang diayunkan Lyla ke mana-mana.

Ia menyukai bermain berdua bersama Momon seperti ini. Tadi ia menyelip kabur ketika Lyla dan Nenek Sari berbincang-bincang dengan tamu, jadi tak ada yang tahu ia berada di sini.

Karena saking asyiknya, ia pun tak menyadari seseorang tengah berjalan ke arahnya.

“Sepertinya Momon menyukai bermain bersamamu,” sebuah suara menyapa.

Lyla sontak menoleh, melihat siapa yang datang menghampirinya. Ia langsung memajukan bibirnya tak puas.

“Hantu cabul, hmph! Ngapain kamu di sini?” ketus gadis itu dengan nada tak senang.

Shira tersenyum. Walau Lyla memajukan bibirnya, tapi gadis itu tetap manis di matanya. Ia tak berkata apa-apa duduk di sebelah Lyla, diam melihat Momon.

Dari Momon ia melihat Lyla seorang diri. Shira sebenarnya takut, tapi memberanikan diri untuk menghampirinya. Gadis ini, adalah Kesadaran Laut yang menemaninya saat jiwanya terjebak di laut. Gadis ini, sudah membuatnya penasaran. Gadis ini, yang memiliki wajah manis, sudah mencuri hatinya.

Lyla juga tak berkata apa-apa setelah itu. Tak juga menolak kehadiran Shira. Ia lanjut bermain bersama Momon.

Angin berhembus pelan sekarang. Di taman bunga itu, daun-daun kembang yang kecil bergoyang tertiup angin. Melambai-lambai kepada pemuda dan gadis yang duduk berdampingan, diam, sedang menikmati hari.

Saat ini.

“Babak pertama, Shira Yashura, Frane Blackwood, bersiap-siap!” seru si wasit lantang.

Shira melihat wajah musuhnya, yang tersenyum mengejek kepadanya. “Menantang Tatalghia Kingdom, apa kamu sudah bosan hidup?” cibirnya dengan suara pelan.

Shira tak memberikan komentar apa pun, tetap diam.

Dua pemuda itu sudah memiliki pedang di tangan masing-masing.

“Kalau begini aku gak bakal repot-repot main kucing-kucingan dengan Yashura. Apa kamu kira kamu bisa menikahi Bhela? Heh, menghina Pangeran Tatalghia, kamu akan mati sebentar lagi.”

Shira masih diam, dingin.

Angin berhembus keras dari luar. Membawa debu yang membuat semua orang di situ merundukkan kepala dan berpejam untuk melindungi mata mereka.

“Babak pertama, dimulai!”

Lyla dan Shira melindungi wajah mereka dari debu ketika angin keras itu bertiup di taman bunga.

Angin itu berlalu. Dan hari menjadi tenang kembali.

Pemuda dan gadis itu sejak tadi tak membuka mulut untuk berbincang. Tapi mata mereka melekat pada satu hal: Momon.

Hening. Udara sekitar menjadi terasa agak canggung. Shira mengintip gadis itu dari sudut matanya. Ia harus mengatakan sesuatu untuk mencairkan suasana.

“Kalau Momon punya mulut, kira-kira apa makanan kesukaannya ya?” kata Shira memulai percakapan, berusaha sebisa mungkin menahan rasa gugupnya.

“Hmph!” Lyla hanya mendengus, tak menjawab.

Shira melihat gadis itu masih marah padanya. Tapi, entah mengapa, hal itu menjadi magnet baginya. Semakin ia melihat wajah gadis itu marah, semakin manis rasanya, semakin rasa penasarannya menjadi-jadi.

“Apa kamu masih marah soal malam itu?” tanyanya kemudian.

“Hmph! Dasar cabul!” ketus Lyla.

“Aku gak sengaja melihat kalian,” kata Shira pelan-pelan. “Lagian malam itu gelap, gak ada cahaya api. Aku gak bisa melihat dengan jelas.”

“Alasan!” ketus Lyla lagi. Ia mengingat malam itu cahaya bulan cukup terang. Cukup terang untuk bisa menyembunyikan sesuatu untuk dilihat.

“Aku datang untuk minta maaf.”

Lyla tak menjawab sesaat. Udara hening kembali, memuat Shira semakin gugup.

Gadis itu pun sontak melihat wajah Shira, menatapnya lekat-lekat.

“Waktu itu, tubuhmu transparan dan melayang. Kukira kamu sudah mati.”

Shira tersenyum pahit. “Aku belum mati.”

“Terus kok bisa terbang? Bagaimana caranya?” tanya Lyla penasaran. Sebenarnya, selama ini, ia menunggu waktu untuk menanyakan hal ini pada Shira.

“Ini...” Shira tak tahu harus menjawab seperti apa. Ia pun tak mengerti apa yang terjadi.

Awalnya ia jatuh di depan gerbang ungu di alam bawah sadarnya. Kemudian ia mendengar suara Gyl ingin memberikannya sebuah skill. Setelah itu ia mendengar suara lain, kakek yang sejak lama bersemayam di tubuh Shira, yang ingin membangkitkan jiwa pemberontaknya. Tahu-tahu ia merasakan rasa sakit yang luar biasa. Sampai kesadarannya ambruk, dan ia tiba di lautan luas, bertahun-tahun terjebak di situ.

Bagaimana Shira menjelaskan? Bila arwahnya waktu itu baru saja kembali dari laut setelah lama tinggal bersama Kesadaran Laut, yang ternyata adalah kesadaran Lyla dari dimensi lain?

Bila Shira memberitahunya dari awal, apakah gadis ini percaya?

“Hei, hei, halo? Kasih tau donk, bagaimana caranya? Aku juga pingin bisa terbang seperti itu,” kata Lyla mendesak.

Shira hanya bisa tersenyum sebagai jawabannya.

Angin berhembus kencang.

Shira memejamkan mata dari debu. Ketika ia membuka matanya kembali, ia melihat Lyla yang menggosok-gosok matanya.

“Ada apa?” tanya Shira.

“Mataku kemasukan debu,” ia mengedip-ngedipkan kelopak mata untuk mengeluarkan debu di matanya. Tapi percuma, jadi Lyla hanya bisa mencondongkan wajahnya ke arah Shira. “Tiupkan debunya, tolong.”

Untuk sesaat jantung Shira berhenti berdenyut. Wajah Lyla begitu dekat sampai-sampai ia bisa merasakan napasnya. Karena hatinya tak siap, hampir saja Shira melompat mundur dari duduknya.

“Tiupkan debunya,” pinta Lyla lagi.

Shira tak berkata apa-apa. Dengan tangannya kanannya, ia memegang wajah Lyla dan tangan kirinya membuka kelopak mata gadis itu yang terkena debu.

“Fuuhhh.”

Dengan lembut Shira meniup mata Lyla yang kelilipan.

“Masih?”

“Mn.”

Shira meniup matanya lagi.

Ia tak perlu bertanya. Mata Lyla masih berair. Jadi ia meniupnya lagi.

“Fuuh.”

Wajah mereka dekat sekali. Jika Shira menurunkan wajahnya, maka hidung mereka akan bersentuhan. Saking dekatnya ia bisa melihat pantulan wajahnya sendiri di mata Lyla yang bulat besar berwarna hitam.

Ketika melihat mata bening itu dari dekat, Shira hanya bisa terpana. Ia tak menyadari jantungnya yang berdegup kencang, terdengar jelas oleh Lyla, pun ia tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya lagi.

“Fuhh.”

Pemuda itu menjadi lupa mengapa wajah mereka bisa sedekat ini.

“Fuuuhh.”

Bahkan ia tak tahu apakah mata Lyla masih kelilipan.

Dalam keheningan yang sepi, mata mereka terkunci satu sama lain.

“Lagi?”

Lyla tak menjawab. Ia diam, wajahnya tak bergeming berada di tangan Shira.

Shira pun diam juga tak bertanya lagi.

Apa yang ada dalam pikiranmu?

Suara hati Shira ingin meraba benak gadis itu. Mata Lyla yang hitam, sangat dalam dan misterius, menyimpan rahasia, menarik rasa penasarannya.

Apa yang ada dalam pikiranmu?

Memegang wajahmu terasa sangat tak asing.

Laut.

Apakah kamu menyukaiku?

Pandangan Shira terlepas dari mata Lyla, turun ke bawah. Melekat di bibir merah muda yang tipis dan lembut.

“Jadi cowok harus tegas, kalau lembek terus kayak gitu, gak bakal ada cewek yang mau sama kamu,” dalam hening itu, ia mengingat lagi ucapan kakak sepupunya dulu.

Lyla tak bergerak. Wajah gadis yang ia sukai, sekarang ada di tangannya.

Apa yang harus kulakukan?

“Cowok sejati gak akan kabur dari ceweknya. Terkadang kamu harus menciumnya sebelum semuanya terlambat.” Bisikan sesat Kakek Lharu terngiang lagi di kepalanya.

Jemari Shira yang membuka kelopak mata Lyla terlepas, turun, mengelus lembut pipinya.

Lyla masih diam. Matanya turun ke bawah. Ia bisa mendengar jantung Shira yang berdegup kencang, bisa merasakan napasnya dari dekat. Pemuda itu tak melepaskan wajahnya.

Sebagaimana polosnya pun Lyla, ia mengerti apa yang dirasakan Shira saat ini.

Tapi sekarang, apa yang kamu pikirkan Lyla?

Apa yang kamu rasakan Laut?

Jangan buat aku penasaran.

Biarkan aku mencari tahu.

Dan Shira pun memejamkan matanya. Ia tak tahu apa-apa, tak merasakan waktu dan ruang sekitar.

Yang hanya ia tahu kemudian, bibirnya menyentuh lembut bibir Lyla.

“Babak pertama, dimulai!”

Arena duel langsung menjadi panas. Banyak orang-orang bersorak untuk menyemangati peserta duel, walaupun sebagian besar menyemangati karena sudah menaruh banyak uang di bandar taruhan.

“Jangan beri Yashura kesempatan,” suara Tuan Besar Blackwood terdengar jelas di antara keributan penonton. Frane melihat ke arah ayahnya, tersenyum dan mengangguk.

“Aku akan membuktikan seberapa menyedihkannya Yashura di mata dunia!” desis Frane sambil menerjang maju.

“Emperor Might Attack!” raung Frane sambil mengeluarkan mana-nya dan menunjukkan skill terbaik yang ia miliki, padahal pertandingan baru saja dimulai!

Long sword yang ada di tangannya langsung mengeluarkan cahaya berwarna kuning.

Swiiish!

Ia mengayunkan pedangnya, jatuh ke arah pundak Shira.

Kecepatan menerjangnya sangat tinggi. Sejak kecil ia melatih kuda-kudanya agar bisa menaikkan kecepatannya secara drastis di lompatan pertama.

“Mati kamu!” seru Frane dalam hati sambil tersenyum licik. Ia akan menaruh luka yang sangat dalam di pundak Shira, dan berpura-pura tak sengaja melakukannya kemudian.

Momentum pedangnya tak bisa dihentikan. Shira tak bergerak untuk menangkis.

“Huh?”

Tapi anehnya, Frane Blackwood melihat pedangnya menembus tubuh Shira.

Ia tak merasakan pedangnya membentur pundak Shira, tak merasakan tajam pedangnya mengiris dagingnya.

Tapi pedangnya benar-benar menembus pundak Shira, seperti ia mengiris angin!

Clank!

Sontak saja yang terjadi setelahnya pedang Frane menghantam lantai.

Frane terbelalak. Ia tak tahu apa yang terjadi.

Sejak kapan Shira menghindar?

Lawannya sudah tak ada di depannya sekarang.

Tepat pada saat itu juga, ia merasakan pantatnya dihantam keras.

BUUGGG!!!

Ia tak tahu apa-apa. Selain tubuhnya melayang di udara karena hantaman di pantatnya.

Saat di udara, ia melihat wajah ayahnya semakin lama semakin mendekat.

Mata Tuan Besar Blackwood juga terbelalak tak percaya. Ia pun mendarat tepat di tubuh ayahnya. Saat itu tempat duduk Blackwood langsung menjadi kacau, karena tubuh Frane terjatuh di situ.

“HHAHAHAHAHA.”

“HAHAHAHAHA!’

“HAHAHAHAHAHAHAHA!!!”

Suara tawa meledak di mana-mana. Saat Frane terbangun, ia melihat semua orang sudah menertawainya.

“Apa... apa yang terjadi?” tanyanya kebingungan sambil meraba-raba pantatnya yang terasa panas dan nyeri.

“Bocah Yashura itu menendangmu, cuma kebetulan!” kata Tuan Besar Blackwood menahan amarahnya. Bisa dilihat dari wajahnya yang tenggelam, ia menyembunyikan rasa malu yang luar biasa.

“HHAHAHAHAHA.”

“HAHAHAHAHA!’

“HAHAHAHAHAHAHAHA!!!”

Frane kemudian melihat ke arah Shira. Walau semua orang sudah tertawa terpingkal-pingkal, pemuda Yashura itu masih diam dan menatapnya dingin.

Saat ini si wasit menahan perutnya yang sakit karena saking tertawanya. Seharusnya ia bersikap profesional, tapi kejadian barusan benar-benar membuatnya terpingkal-pingkal. Jika ia tak mengingat kalau ia adalah wasit sekarang, barangkali ia sudah berguling-guling di lantai.

Arena duel itu memiliki batas. Jika seorang peserta bisa menekan lawannya hingga keluar garis batas tersebut, maka ia dinyatakan menang.

Tapi menendang pantat musuhnya hingga melayang keluar, si wasit baru pertama kali melihat kejadian itu!

“Babak pertama, dimenangkan Shira Yashura!” saat ia bisa mengendalikan dirinya, baru ia mengumumkan hasil pertandingan barusan.

Shira tetap dingin. Ada dua hal yang ia pelajari dari Kakek Lharu saat ini. Yang pertama teknik memijat yang ia baca, bisa memperkuat kakinya dan memberikan buff sehingga strength-nya bisa naik berkali-kali lipat khusus pada daerah tubuh yang ia pijat. Tapi kekurangannya, setelah itu, daerah yang dipijat menjadi kaku dan sulit untuk digerakkan.

Ia tak terlalu banyak mengambil pusing untuk hal ini. Karena ia memiliki ‘Water Flowing Style’, seberapa pun Shira malas mengelak serangan tadi, Frane tak akan bisa menyentuhnya hanya mengandalkan serangan frontal!

Dan hal kedua yang Shira pelajari dari Kakek Lharu adalah, menendang pantat orang lain dan membuatnya melayang benar-benar membuat hatinya puas.

Saat suara tawa hampir mereda, seseorang langsung menepuk tangannya, yang disambut oleh tepuk tangan lain. Hal itu menjadi berantai, dan cepat saja balai desa langsung ramai oleh tepuk tangan.

Semua orang bertepuk tangan untuk Shira. Bahkan yang bertaruh untuk Frane. Mereka datang meramaikan duel ini untuk mencari hiburan, dan Shira benar-benar membawa hiburan yang segar untuk mereka.

“Hanya kebetulan, jangan dipikirkan!” kata Tuan Besar Blackwood lagi meyakinkan anaknya.

Tapi pasangan ayah dan anak itu tak bisa menahan rasa malu mereka. Jika saja tak ada dua babak lagi, barangkali mereka sudah kabur dari situ.

“Babak kedua, peserta duel bersiap! Atau apa ingin istirahat dulu?” tanya si wasit sambil tersenyum. Masih ada jejak tawa di wajahnya yang membuat Frane tak bisa melihat langsung wajah si wasit.

“Babak pertama terlalu cepat, aku gak usah istirahat,” kata Frane sambil berjalan kembali ke arena duel.

Shira pun menyahut.

“Babak pertama terlalu cepat, aku jadi bosan,” ia berkata demikian untuk memprovokasi Frane. Setelah provokasinya tadi, hati Shira pun menjadi puas.

Tapi bagi orang-orang yang mendengar provokasinya itu, langsung mengingat kembali bagaimana konyolnya Shira menendang pantat Frane Blackwood sampai melayang keluar arena. Tawa pun meledak kembali.

“Shira Yashura, jangan sombong dulu kamu!” wajah Frane yang memerah tak bisa menahan rasa malunya langsung menjadi buas. “Kamu jangan menghindar dari seranganku, berani gak?!”

Frane menantang Shira untuk menerima serangannya secara frontal. Semua orang langsung mencibir. Menantang musuh untuk harus menerima serangannya, tak ada aturan seperti itu di mana-mana.

Menghindar adalah salah satu kemampuan petarung juga. Jelas-jelas dodge rating terpampang di ‘Status Window’ seseorang, memperlihatkan seberapa pentingnya atribut itu.

Jika menantang seseorang untuk tak menghindar, bukankah itu sama saja seperti menantang orang untuk harus menggunakan tangan kosong, sedang ia sendiri menggunakan pedang besar untuk bertarung?

Blackwood datang kemari untuk menjatuhkan prestise dan harga diri Keluarga Yashura agar lancar ketika mereka merebut Bhela. Tapi yang terjadi, malah mereka sendiri yang dicibir orang-orang.

Entah melihat Tuan Besar Blackwood memfitnah Keluarga Yashura tadi, atau mendengar Frane yang tak masuk akal menantang Shira, dua hal ini membuat semua orang menjadi tak memiliki rasa hormat sama sekali untuk Keluarga Blackwood.

Sebenarnya Shira tak peduli dengan tantangan Frane. Ia sekarang juga tak peduli jika memenangkan duel ini.

Yang ia pikirkan sekarang hanya satu hal.

Secara tak sadarkan diri ia menoleh ke arah tempat duduk Keluarga Malikh. Matanya pun jatuh pada seorang gadis kecil yang tengah memeluk Momon.

Saat Shira melihat ke arahnya, secara spontan Lyla membuang matanya ke samping.

Shira pun juga pura-pura tak melihat barusan, matanya kembali ke depan menghadap Frane.

Ia tak menjawab tantangan musuhnya. Hanya mengangkat pedangnya yang pendek, tanda siap untuk bertarung.

Saat Shira membuka matanya, waktu yang membeku berjalan kembali, udara yang terdiam pun bertiup kembali.

Ia menarik wajahnya, masih bisa merasakan sisa bibir Lyla yang basah dan lembut.

Ia juga melihat wajah Lyla yang sudah merah merona, membentuk garis di hidung dan pipi di bawah matanya, serta kupingnya juga sudah memerah.

Shira baru sadar, apa yang ia lakukan?

Ia baru saja mencium seorang gadis!

Sebelumnya ia hanya terbawa suasana, dan sekarang, saat sudah tersadar, ia pun menjadi panik!

Lyla tak mengucapkan apa-apa, ia pun tak mengucapkan apa-apa.

Mata mereka merunduk ke bawah. Sama-sama melihat ke arah Momon, tak tahu harus berkata apa.

Angin yang berhembus lembut, langsung membuat suasana canggung.

Shira berpikir dalam hati, ia baru saja mencium gadis ini, tepat di bibirnya. Jika ia bersikap seolah-olah tak terjadi apa-apa, bukankah sama saja ia berlari dari keadaan?

Ia tak mau menjadi pengecut. Ia akan bertanggung jawab.

Jadi ia menatap lurus ke wajah Lyla. Hari ini ia akan mengungkapkan perasannya.

“Lyla, sebenarnya sekarang aku datang ke sini untuk bisa mengenalmu. Saat pertama kali aku melihatmu aku tau hatiku sudah memilihmu. Memilihmu sebagai satu-satunya, memilihmu untuk menghabiskan waktu bersama. Sampai tua nanti, puluhan tahun berlalu, sampai aku mati, aku tau, hatiku hanya tertuju padamu.”

Shira tak membual. Tak mengeluarkan omong kosong. Ia hanya mengeluarkan apa yang ia rasakan saat in, yang ia rasakan selama jiwanya terjebak bertahun-tahun di lautan.

Matanya melihat wajah Lyla yang memerah, yang merunduk melihat ke bawah.

“Walaupun semenjak kecil aku ditunangkan dengan Bhela semenjak kecil, aku sama sekali gak memiliki perasaan apa-apa padanya. Aku tau dia juga merasakan hal yang sama. Di hatiku, hanya ada kamu. Satu-satunya kamu. Aku menciummu karena sama sekali gak bisa menahan perasaanku lagi. Lyla, aku mencintaimu.”

Laut aku menjemputmu saat ini.

Sekarang, apa yang kamu pikirkan?

Lyla tertegun, dengan wajahnya yang masih memerah, masih melihat ke bawah.

Kemudian, beberapa saat, ia mengangkat kepalanya. Membalas mata Shira.

“Shira. Setelah melihatmu menjadi hantu waktu itu, dan juga setelah kamu memberikan Momon padaku, aku tau kamu bukan orang biasa. Momon sangat menarik, aku menyukainya, karena dia adalah salah satu teman terbaik yang kumiliki selain Kak Bhela. Kamu juga sama. Kamu menarik, dan barangkali aku akan menyukaimu.”

Lyla tertegun kembali. Ada keraguan di wajahnya untuk melanjutkan ucapannya, yang membuat Shira gelisah.

“Barangkali aku akan menyukaimu, seperti Momon, tapi hanya sebagai teman. Maafkan aku.”