Bab 70 - Murid yang Akan Melampaui Gurunya

Empat puluh tahun yang lalu.

Duduk seorang anak berbadan gemuk. Bajunya di daerah dada dan punggungnya basah oleh keringat. Beberapa kali ia menghabiskan botol air minum untuk melegakan napasnya yang terengah-engah.

Terik matahari sangat panas sekali siang itu. Ia bertengger tepat di atas kepala mereka. Anak-anak yang berusia belasan, delapan belas yang paling tua, sedang duduk beristirahat sambil meregangkan kaki mereka usai berlari joging empat kilometer semenjak pagi tadi.

Ini adalah adegan dari memori Mr. Takeshi.

Mr. Takeshi adalah anak gemuk itu. Empat puluh tahun kemudian badannya akan tegap dan berotot, tapi sekarang ia hanyalah anak gemuk yang napasnya sudah habis beberapa menit berlari. Joging empat kilometer, kalau saja teman-temannya tak membantu, mungkin ia sudah pingsan sekarang.

“Mbah Lharu, apa kami harus pulang berlari seperti kemarin?” tanya salah seorang pemuda berumur lima belas tahun yang tengah beristirahat.

“Iya Mbah Lharu, Takeshi sudah gak kuat, kalau gak dibopong sudah karam dia dari tadi,” tambah yang lain.

Takeshi muda hanya bisa merundukkan kepalanya. Semua anak lain tahu ia adalah anak yang berani dan suka melindungi adik-adik sepanti asuhannya. Walau kepribadiannya nakal tapi sulit untuk membenci anak sepertinya. Karena itu ia sangat disukai orang-orang.

Namun jika masalah berolahraga, dengan badannya yang gemuk, Takeshi selalu murung dan tak percaya diri. Ia sangat malu karena menyusahkan teman-temannya, jadi Takeshi muda yang riang hanya diam saja semenjak tadi.

“Enthe semua bocah-bocah malas,” kata seorang pria tua yang rambutnya sudah berwarna abu beruban. Walau usianya sangat tua, tapi keriput masih belum banyak ada di wajahnya. Bisa dilihat sekilas, pria itu berwajah gagah saat ia muda. “Kalau kalian begini terus aku bakal menyuruh Sari untuk berhenti membuatkan kalian makan malam.”

“Bohong!” seru salah seorang gadis panik.

“Nenek Sari orangnya baik. Gak pelit seperti Mbah Lharu,” komplain yang lain.

Mendengar keluhan anak-anak itu Kakek Lharu langsung berdiri dari duduknya dan menendang-nendang mereka yang sedang duduk beristirahat santai.

“Bocah-bocah kamfret! Masih untung dikasih makan. Sana balik cepet, lari lari lari!”

Semua anak-anak itu langsung bubar berlari kembali. Banyak yang menggerutu, tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa kalau Kakek Lharus sudah kesal.

“Ndut, kamu diam dulu sebentar di sini,” panggil Kakek Lharu.

Takeshi muda menghentikan langkah larinya yang baru saja dimulai. Anak-anak lain melihat ke belakang ketika Kakek Lharu memanggil ‘Gendut’, julukan Takeshi yang diberikan oleh Kakek Lharu. Tapi cepat mereka tak memusingkan hal itu dan berlari kembali ke arah panti asuhan yang empat kilometer jauhnya.

“Gendut. Apa kamu tau tujuanku membuat kalian semua berlari seperti ini setiap hari?” tanya Kakek Lharu menatap lekat wajah Takeshi muda.

Takeshi muda menggeleng. Anak yang lain bisa santai di depan Kakek Lharu. Tapi berbeda dengan Takeshi.

Semenjak pertama kali Takeshi dipungut, Kakek Lharu sudah menjadi pahlawannya. Kakek Lharu adalah tokoh teladan, idolanya, sekaligus sebuah sosok ayah untuk anak yatim piatu seperti Takeshi.

Wajar jika ia bersikap kaku di hadapan sosok seperti itu. Rasa hormatnya terlalu besar. Sampai-sampai Takeshi muda tak berani bercanda di depan sosok kakek yang santainya bisa dibilang keterlaluan ini.

Tapi tak ada yang bisa menyalahkannya. Ia hanyalah remaja dua belas tahun.

“Awalnya aku mau menurunkan berat badanmu biar kamu bisa jadi gagah lebih sedikit. Kamu suka sama si Erina, bukan? Nenek Sari bilang Erina mau pacaran sama kamu kalau kamu niat jadi kurus. Tapi yang kamu lakukan setiap hari cuma makan-tidur-berkelahi aja. Apa gak malu enthe bocah?”

Mendengar Kakek Lharu mengungkit masalah pribadinya, Takeshi muda hanya bisa merundukkan kepalanya lebih rendah lagi.

“Dengar baik-baik, Gendut. Ada satu prinsip yang harus kamu pegang dalam hidupmu: Terkadang, kamu harus mencium cewekmu sebelum semuanya terlambat,” kata Kakek Lharu dengan nada seperti seorang Kakek Bijak menasihati.

“Ci-cium?” jelas terdengar Takeshi terkejut dari nadanya. “Tapi Mbah... aku baru dua belas tahun...”

“Hah? Dua belas tahun? Masa? Kamu gak kelihatan seperti bocah dua belas tahun. Lagian si Erina kan umurnya tujuh belas tahun. Kalau kamu gak cium dia sekarang ntar bakal keduluan orang lain.”

Takeshi tak bisa berkata apa-apa tentang hal ini. Jadi ia hanya menganggukkan kepalanya saja supaya Kakek Lharu puas.

Kakek Lharu menaruk tangan di pinggangnya, mendesahkan napas panjang. “Sebenarnya, Ndut, aku memanggilmu kemari, ada hal penting yang kubicarakan padamu.”

“Mbah Lharu... hal penting?”

Kakek Lharu mengangguk. “Gendut... walaupun aku mendukungmu supaya bisa sama Erina, tapi sebenernya aku gak mau kamu pacaran dulu. Aku punya rencana khusus untukmu. Tapi rencanaku kesempatan buat berhasilnya kecil sekali. Jadi aku baru membicarakannya sekarang.”

“Rencana apa yang Mbak Lharu punya untukku?” tanya Takeshi antusias.

Kakek Lharu melihat Takeshi sambil memajukan bibirnya. “Apa kamu pengen tau?”

Takeshi mengangguk.

“Pengen, pengen pengen tau?”

Takeshi mengangguk lebih keras.

“Pengen, pengen pengen pengen pengen tau atau cuma pengen tau aja?” tanya Kakek Lharu lagi.

“Mbah Lharu, kasih tau aku!” teriak Takeshi bersemangat. Ia tahu kalau tak bersemangat seperti itu, Kakek Lharu bakal tak habis-habisnya bertanya demikian.

“Oke. Tapi sebelumnya kamu harus melihat sulapku dulu,” ucap Kakek Lharu sambil mengambil sebuah gelas dan sebotol air.

Ia menuangkan air ke dalam gelas itu hingga penuh betul. Saking penuhnya tergeser sedikit gelasnya, air yang ada di dalam akan tumpah.

Takeshi muda melihat gelas itu. Ia menunggu sulap seperti apa yang Kakek Lharu ingin tunjukkan kepadanya.

Kakek Lharu menggenggam gelas itu dan mengangkatnya dengan mudah seperti mengangkat gelas kosong.

Mata Takeshi masih terpaku pada gelas tersebut. Ia merasa ada yang ganjil. Tapi bertanya-tanya dalam hati hal ganjil apa yang membuatnya bingung.

“Kamu tau sulapku seperti apa?” tanya Kakek Lharu.

“Airnya... gak tumpah?” tebak Takeshi muda.

“Yap, yap. Kamu betul, Ndut. Airnya gak bakal tumpah digoyang seperti apa pun,” kata Kake Lharu sambil memutar-mutar dan menggerakkan tangannya yang memegang gelas penuh berisi air ke sana-kemari.

Takeshi muda berkedip-kedip takjub melihat itu.

“Tapi apa kamu tau bagian sulap terbaiknya?” kata Kakek Lharu dengan senyum bangga yang membuat orang lain penasaran melihatnya.

Dan Takeshi pun hanya bisa menganga menunggu bagian terbaik yang Kakek Lharu sebut.

“Hiaaap!” Kakek Lharu dengan cepatnya membalikkan gelasnya menghadap tanah.

Tapi anehnya, air di gelas itu sama sekali tak tumpah. Seperti menempel keras di permukaan gelasnya!

“Gak... gak... kok gak tumpah?” tanya Takeshi memiringkan kepalanya bingung.

“Hehe...” Kakek Lharu tertawa kecil, senang sekali sudah menipu anak kecil di depannya.

Bagian terbaiknya, sama sekali belum ia perlihatkan.

Kakek Lharu pun mencelupkan telunjuk kirinya ke dalam air gelas yang terbalik ke tanah itu. Kemudian, dengan pelan-pelan ia mengangkat gelasnya... namun airnya tak ikut terangkat dari gelas tersebut!

“Woooaah!” mata bulat Takeshi muda semakin membesar melihat itu. Ia takjub. Isi kepalanya benar-benar dibuat meledak ketika melihat hal mustahil yang ada di depannya.

Gelas yang tadinya berada di gelas tak lagi ada di situ. Tapi berdiri di atas telunjuk Kakek Lharu tanpa ada wadah yang menampung kecuali angin kosong.

Lharu Kakek Lharu mendekatkan bibirnya ke air yang mengambang di udara itu. Dengan rakusnya ia menyedot air itu tanpa tersisa dan meminumnya santai seperti tak terjadi apa-apa.

“Mbah Lharu... apa barusan itu skill sihir?” tanya Takeshi muda masih dengan nada tak percaya.

“Bukan, hehe...” Kakek Lharu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian menunjuk kakinya dengan telunjuk yang mengangkat air tadi. “Apa kamu gak liat dari tadi ke arah kakiku?”

Takeshi muda melihat ke bawah, dan menyadari ada yang aneh dengan tanah berumput di bawah kaki Kakek Lharu.

“Mbah, Mbah! Tanahnya beriak-riak seperti permukaan air!” seru Takeshi muda terkejut.

“Hehe. Itu dia triknya. Aku menggunakan skill pasif yang bernama ‘Water Flowing Style’ untuk mengontrol ruang yang ada di dalam air ini. Jadi bagaimana pun aku mau memutarbalikkan gelasnya, air yang ada di dalam gak bakal tumpah. Bahkan jika aku guling-guling pun gak bakal tumpah selama aku menyentuh airnya atau secara gak langsung menyentuhnya, asal dalam kondisi tertentu.”

“Jadi bukan skill sihir?” tanya Takeshi muda dengan polosnya.

“Hehe, hebat bukan? Skill ‘Water Flowing Style’ memang dari luar kelihatan sederhana. Efeknya cuma menaikkan dodge rating. Tapi apa kamu tau apa yang membuat skill ini spesial?”

Takeshi, walau adalah anak yang polos dan bertemperamen buruk, tetapi ia adalah anak yang sangat tanggap untuk anak seusianya. “Spesial? Apa itu karena skill ini mengontrol ruang sebagai mekanisme dasarnya untuk menaikkan atributte dodge rating?”

“Lah, ternyata kamu pintar juga. Yap. Benar sekali. Lebih tepatnya cuma bisa mengontrol ruang benda cair. Takeshi, apa kamu tau, menurut penelitian... tubuh manusia itu tujuh puluh persen terdiri dari air?”

“Ada juga yang meneliti macam gitu? Gak ada kerjaan sekali orangnya,” gumam Takeshi.

tok langsung saja kepalanya di getok oleh Kakek Lharu.

“Siapa yang kamu bilang gak ada kerjaan semfrul!” bentak Kakek Lharu sambil air liur menyembur dari mulutnya.

“Aduh duh,” Takeshi muda hanya meringis kesakitan.

“Dengar baik-baik, Ndut. Sekarang kukasih kamu dua pilihan. Latihan lari setiap hari, ntar kamu bakalan jadi kurus. Kamu tembak si Erina pasti dia mau sama kamu. Tapi pilihan kedua... kamu gak bisa milih lagi setelahnya.”

“Pilihan kedua, apa itu?”

Kakek Lharu terdiam sesaat. “Talenta kamu sebenarnya biasa saja di antara anak-anak yang lain,” katanya pelan-pelan. “Tapi afinitasmu untuk elemen air sangat tinggi. Aku bisa melihatnya sekarang. Kamu cocok sekali dengan ‘Water Flowing Style’ ini.

“Banyak anak-anak lain sebelummu yang kuberikan kesempatan ini. Mereka juga sama, pas dapat kelas, mereka langsung dapat water elemental affinity. Jadi mereka kuajari belajar ‘Water Flowing Style’, mereka kuberi kesempatan untuk menjadi petarung hebat.

“Tapi sayang, semua dari mereka gak ada yang mencapai kriteriaku. Mereka semua gagal untuk menjadi muridku...” katanya kemudian dengan wajah sedih.

“Mu—murid?” mata Takeshi terbuka lebar. Walau Kakek Lharu banyak melatih anak panti asuhan di waktu senggangnya, tetapi ia tak pernah menjadikan salah satu dari mereka menjadi murid pribadi. Murid yang akan mewarisi jurus-jurus rahasianya, di mata orang-orang, tak akan ada yang seperti itu jika mereka berbicara tentang Pendeta Tinggi Moon Temple.

Tapi sekarang, Kakek Lharu berbicara tentang menjadikan seseorang muridnya. Hati Takeshi muda berdegup kencang. Apa Kakek Lharu mengatakan kesempatan yang ia maksud adalah...

“Pilihan kedua,” kata Kakek Lharu melanjutkan. “Pilihan kedua... hmm... adalah jalan keras yang penuh dengan rasa kesepian, kesendirian, berjalan tanpa ada yang menemani untuk menyempurnakan skill-mu. Berjalan di jalan yang kusebut jalan kekerasan. Dengan kata lain, kamu bakal jomblo seumur hidup.

“Kamu bakal menghabiskan waktumu untuk menyempurnakan skill ‘Water Flowing Style’. Dan kalau dalam dua puluh tahun kamu bisa melakukan trik sulap tadi, dan membuat riak air di tanah... dua puluh tahun... aku akan menjadikanmu sebagai murid.”

Takeshi muda tertegun. Pilihan yang akan mengubah takdir hidupnya kini berada tepat di depan matanya.

“Mbah Lharu!” sahut Takeshi lantang sambil menegakkan badannya yang gemuk. “Berikan aku kesempatan untuk menjadi murid Mbah Lharu!”

Dan semenjak itu pun hidup Takeshi berubah.

Ia menjadi petarung yang hebat. Ranger yang bisa diandalkan semua orang.

Puluhan tahun berlalu dan ia masih menjomblo. Berusaha sebisa mungkin menyempurnakan skill ‘Water Flowing Style’-nya.

Tapi sayang ia hanya bisa mencapai level 3 untuk skill itu pada saat tiga puluh lima tahun berlalu semenjak hari itu.

Bahkan Kakek Lharu sudah lupa pernah memberikannya kesempatan untuk menjadikan Takeshi sebagai murid.

Walau dalam hati ia kecewa berat, tapi Takeshi tak pernah menyesal. Dalam benaknya Kakek Lharu tetap sosok seorang ayah dan guru yang hebat. Empat puluh tahun ini ia merasa berterima kasih telah diberi kesempatan oleh Kakek Lharu pada siang itu.

Karena itulah ia datang ke desa ini dan mencari keluarga Kakek Lharu. Ia sudah menunggu hari pensiun Kakek Lharu semenjak dulu dari jabatannya di Moon Temple. Mr. Takeshi pun sudah keluar dari kuil tempatnya bekerja. Kini ia ingin membalas hutang budinya, dengan mengabdi menjadi seorang penjaga di Keluarga Yashura, barangkali sesekali berkesempatan mengajari anak-anak Yashura seperti Kakek Lharu mengejarinya dulu.

Mr. Takeshi terenyak dari lamunannya. Ia mendapati dirinya masih merasa kagum pada anak muda yang tengah bertarung di arena ini.

“Mbah Lharu tetap adil. Talenta anak muda bernama Shira ini sangat membuatku iri,” Mr. Takeshi mendesahkan napas panjang. Awalnya ia terkejut Shira Yashura bisa menggunakan skill buff ‘Senam Bugar Technique’. Itu adalah skill Kakek Lharu yang tak pernah ia ajarkan pada orang lain sebelumnya.

Ia mengira Kakek Lharu mengajarkan Shira karena ikatan keluarga. Kini ia baru sadar sudah keliru.

“Dua puluh tahun menguasai ‘Water Flowing Style’ sampai pijakan kaki memunculkan riak di tanah... dua puluh tahun untuk mencapai ‘Water Flowing Style’ level 3, tak ada yang berhasil sebelumnya. Salah satu alasan utama Mbah Lharu gak pernah menjadikan seseorang sebagai murid adalah... gak pernah ada yang menguasai level 3 ‘Water Flowing Style’ dalam waktu dua puluh tahun!

“Tapi anak ini... umurnya baru berapa? Lima belas tahun? Kalau ada yang bilang dia sudah belajar skill ini semenjak di perut ibunya, barangkali aku bakal percaya,” kata Mr. Takeshi pada dirinya sendiri sambil berdecak kagum. “Barangkali... selama ini... murid yang Mbah Lharu cari adalah, seorang murid yang bisa melampauinya.”

Saat ini, di arena duel, gerakan Frane Blackwood semakin menggila. Ia sudah berada di ujung tanduk. Dalam hitungan beberapa puluh detik ia akan kehilangan kesadarannya jika begini terus.

Tapi semua serangannya tak ada yang mengenai Shira.

Pun tak ada serangan yang mampu membuat teh di gelas Shira tumpah.

Lambat laun gerakan Frane melemas. Ia sudah kekurangan darah. Banyak luka di tubuhnya, setiap sayatan yang dibuat Shira menggunakan ‘Open Wound’.

Walau tak ada serangan yang fatal, dan luka sayatnya tak sedalam sayatan di pinggang Frane, tapi darah yang mengucur keluar... tak bisa diremehkan banyaknya.

Baju mahal Frane, yang berwarna hijau terang pun, sudah terkoyak-koyak menjadi merah darah.

“Lagi sebentar kamu bakal ambruk, loh,” kata Shira pelan memperingati.

Frane mendengus. Kembali menyerang.

“Frane, gunakan ‘Glowing Sun Strike’ lagi!” sahut ayahnya dari tempat duduk penonton.

‘Glowing Sun Strike’? Mana bisa! Waktu jeda di setiap skill disebut cooldown. Dan skill ‘Glowing Sun Strike’, adalah salah satu skill yang memiliki cooldown terlama.

Selain itu, stamina Frane terkuras habis. Karena kekurangan darah, ia mendapat debuff selain debuff ‘Open Wound’ yang akan mengurangi hit point-nya terus-menerus.

Debuff itu memang menguras habis stamina-nya. Kalau saja tak ada buff ‘Emperor Blessing’ yang mengurangi efek debuff karena kekurangan darah tersebut, barangkali ia sudah tak mampu mengangkat pedangnya sekarang.

“Menyerah saja. Ntar kalau kamu tewas aku yang repot,” kata Shira sambil meregangkan kaki dengan santainya yang kesemutan berdiri semenjak tadi.

“Shira, aku akan mengeluarkan semua sisa tenagaku dan membuatmu menyesali sikap sombongmu barusan!”

Dengan tekad membara, Frane pun memberikan semangatnya pada serangan terakhir ini.

swiish!

Shira bisa menghindar. Tapi gerakannya terlihat berbeda dari biasanya.

Sekilas terlihat, elakkan bertahan Shira persis seperti ia tengah terdesak.

Serangan terakhir Frane di babak ini, sangat ganas dan agresif!

Tiba-tiba, mata semua orang, tertuju pada gelas Shira.

Setetes bulir air teh melompat dari mulut gelas tersebut. Di tarik gravitasi dan melayang bebas ke lantai.

“Tumpah!” seru seseorang.

“Setetes ada yang tumpah!” seru yang lain mengulang.

Dalam waktu kurang lebih hitungan detik itu, mata semua orang tertuju pada bintik kecil di arena.

Setetes air teh.

Yang akan menentukan hasil pertandingan ini!

“Hup!” tapi dengan santainya, Shira membengkokkan tangannya seperti makhluk tak bertulang belakang.

clup

Tetes air teh itu pun kembali ke dalam gelasnya sebelum menyentuh tanah.

Semua orang mengangakan mulutnya melihat tangan Shira yang tiba-tiba membengkok. Mereka mengira tetes air teh itu akan tumpah ke lantai, menandakan kekalahan Shira.

Tapi gerakan tangan bengkok yang aneh itu, menyelamatkannya dari kekalahan!

“Fiuuhhh... hampir aja...” kata Shira sambil pura-pura mengusap keningnya yang berkeringat.

Di tengah-tengah penonton, Mr. Takeshi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya sambil tersenyum lebar. “Anak kurang ajar. Dari awal dia sudah mengerjai semua orang. Pakai ‘Water Flowing Style’, mana bisa air tehnya tumpah.”

brug!

Tepat di saat yang bersamaan, tubuh Frane Blackwood yang dipenuhi luka ambruk tak sadarkan diri.

“CURANG!!! CURANG!!! Lihat tangannya, bisa memanjang dan bisa jadi bengkok gitu! Pasti dia pakai apa-apa sebelum pertandingan. Curang! Wasit, apa kamu bakal membiarkan Keluarga Yashura curang di duel ini?!” seru Tuan Besar Blackwood dengan mata memerah.

“Berisik monyet!!!” seru seseorang dari penonton yang tak senang mendengarnya mengulang-ngulangi kata “curang”.

Wasit pun tak menyukai sikap Tuan Besar Blackwood. Tapi ia juga bingung bagaimana memutuskan hasil pertandingan ini.

Saat ini, babak kedua jelas sudah kalah Blackwood karena Frane tak sadarkan diri. Orang-orang Blackwood sudah membopong tubuhnya dengan wajah-wajah pucat.

Tapi melihat tangan Shira yang membengkok, dalam hati ia juga menaruh curiga.

Baru kali ini ia melihat ada orang yang bisa membengkokkan tangannya seperti itu.

Itu wajar saja. Hanya beberapa orang yang mengerti mengapa Shira bisa melakukan hal itu, misteri di balik alasan Shira bisa memanjangkan dan membengkokkan tangannya.

Jadi ia melihat ke arah Kepala Desa Badril. Apakah hasil babak kedua ini sah, ia tak berani memutuskannya sendiri.

Pun, melihat si wasit menatap ke arahnya, Kepala Desa Badril langsung pula melihat ke arah Pangeran Tua Tatalghia.

Pangeran Tua Tatalghia mengerti. Kepala Desa Badril bingung tentang apa yang terjadi. Tapi ia tahu rahasia di balik gerakan tangan Shira yang aneh.

“Shira sama sekali gak curang,” katanya dengan suara santai, tapi cukup lantang untuk didengar semua orang. “Alasan mengapa tangannya bisa memanjang dan juga bengkok... semua orang tadi juga melihatnya kan?”

“Huh?”

“Kita semua sudah melihat? Apa maksudnya?”

Banyak orang yang tak mengerti maksud Pangeran Tua Tatalghia.

“Apa kalian benar-benar mengira gerakan Shira yang diulang-ulang tadi cuma ulah isengnya? Dia hanya mengeluarkan skill buff-nya, yang bernama ‘Senam Bugar Technique’! Itu adalah skill yang sangat langka, yang sebelumnya, hanya ada satu orang yang menguasainya!

“Skill buff tersebut sangat unik. Membuat tubuh penggunanya lentur seperti gak bertulang. Gerakannya juga semakin lincah, dan konon katanya akurasi pengguna sama sekali gak berkurang dalam kondisi tersebut. Katanya juga, kalau level ‘Senam Bugar Technique’ sudah tinggi, yang pakai bisa masuk ke lubang kecil seperti tikus.”

Ia tak membual. Ia pernah mendengar, di hari-hari mudanya, Pendekar Pedang Kidal pernah kabur dari sebuah penjara lewat lubang tak lebih besar dari kepala manusia.

“Tapi karena kalian kurang wawasan, kalian sama sekali gak mengenali skill buff ini,” kata Pangeran Tua Tatalghia melanjutkan. “Yah, walaupun seharusnya sebagian dari pasti mengenal orang yang kumaksud.”

Ada seorang yang bertanya tentang orang yang menguasai skill yang disebut Pangeran Tua Tatalghia. Tapi ia hanya tersenyum. Ia tak mau membuat masalah untuk seorang petarung veteran seperti Kakek Lharu. Kakeknya, seorang Mage sekaligus petarung terkuat di Benua Tiramikal pun, menghormatinya sebagai pendekar sejati. Bukan tempatnya sebagai seorang junior untuk bersikap tak sopan kepada mantan Pendeta Tinggi Moon Temple.

Setelah mendengar itu pun, si wasit mengerti. Ia kemudian melihat kembali ke arah Shira, kemudian berseru dengan suara lantang:

“Babak kedua, dimenangkan oleh Shira Yashura!”

Dengan santainya pun Shira berjalan keluar dari arena duel sambil menikmati pelan teh manisnya.