Bab 99 - Aura yang Tak Asing
Di puncak gunung Desa Badril.
Arwah wanita berdiri dengan kepala merunduk. Di depannya arwah lain, tengah berbaring malas di sebuah singgasana yang penuh dengan rune berwarna biru terang menyala.
“Maafkan kegagalan kami, Bang Arwah Baik Hati,” melas Mama Ross pelan.
Tapi Gyl tak membalas. Ia menenggelamkan wajahnya dengan topi dan menirukan postur tubuh Shira ketika ia tidur bermalas-malasan di bukit dekat kediaman Keluarga Yashura.
“Abang Arwah...”
Tak ada siapa pun di tempat itu selain mereka berdua.
Sebelumnya Mama Ross datang ke sini untuk menantang Gyl. Tetapi hanya dengan sekali serangan halusinasi saja, arwah wanita itu dibuat lari terbirit-birit. Mama Ross masih mengingat betapa bodohnya ia karena sudah membuat Gyl marah pada waktu itu.
Jujur saja, Mama Ross tak ingin kembali lagi ke sini. Ia ingin pergi sejauh-jauhnya bersama Merly seperti waktu itu. Tapi ia takut bila Gyl akan mengejar mereka karena sudah gagal menjalankan perintahnya. Jadi Mama Ross hanya bisa menggertakkan giginya dan pergi seorang diri ke sarang Gyl untuk memohon ampun.
Namun tak pernah ia menyangka, Gyl yang sebelumnya antusias malah menjadi acuh tak acuh seperti sekarang ini.
“Apa kamu sudah selesai?” tanya Gyl, mengangkat sedikit topinya dan melihat dari celah kecil.
“...” karena arwah cabul ini tak menunjukkan nada mesum dan menggodai seperti biasa, hati Mama Ross serasa menjadi beku. Pada saat itu juga perasaan buruk menguasai benaknya.
“Kalau sudah selesai kalian boleh pergi.”
Mama Ross tercengang. Ia teringat kembali bagaimana dinginnya ucapan Gyl ketika ia datang kemari untuk mencoba menggagalkan rencana arwah tersebut. Nadanya persis seperti sekarang ini.
“Terus... Merly...”
“Kalau nanti dia gak menghalangi jalanku aku gak bakal membunuhnya.”
Perasaan lega merayap di seluruh tubuh Mama Ross. Ia menyadari sekarang, sejak awal Gyl hanya ingin menggunakan Merly saja.
Tiga belas ribu tahun yang lalu Gyl terkenal buas dan mengerikan. Tetapi kepada kaum wanita, pembantai itu sedikit bersikap lembut. Banyak pahlawan-pahlawan perempuan yang selamat dari cengkeraman Gyl. Mama Ross salah satunya. Tapi ia tahu ada bayaran untuk menenangkan hawa membunuh Gyl. Mama Ross yakin wanita-wanita yang lain pada waktu itu juga memilih pilihan yang sama dengannya untuk tetap bertahan hidup.
Saat ini Gyl hanyalah sebatas arwah. Pilihan seperti waktu itu terasa hambar bila dibicarakan sekarang. Rasanya pun mustahil bagi seorang bengis seperti Gyl untuk mengampuni seorang gadis kecil seperti Merly tanpa mendapat apa-apa darinya.
Mama Ross tak ingin memikirkan lebih jauh nasib mereka yang tak selamat dari Gong Tiramikal. Ia hanya bersyukur Merly diampuni saat ini. Setelah mengucapkan beberapa patah kata basa-basi, akhirnya Mama Ross menganjak kaki dari situ.
Beberapa saat kemudian, seekor burung kecil melayang ke arah puncak gunung tempat Gyl tidur-tiduran.
Burung itu bukanlah burung sungguhan. Melainkan lipatan kertas origami berbentuk burung bangau.
Jika itu makhluk hidup lain, ketika menyentuh pelindung yang dibuat Gyl, mereka akan terbakar menjadi abu bila menerobos. Tetapi saat burung kertas itu muncul pelindung Gyl langsung bergerak membuat celah masuk.
Ia pun melayang, pelan-pelan. Hingga akhirnya mendarat di atas dada Gyl yang lagi berbaring.
poof
Burung kertas itu mengeluarkan sebuah ledakan asap kecil, berubah wujud menjadi surat.
“Hmm?” sebuah senyum tipis muncul di wajah arwah itu ketika membaca surat tersebut. Ia juga mendapat kertas lain yang merupakan sebuah sketsa wajah seorang gadis asing.
“Tunggu saja, Shira,” kata Gyl sambil tertawa jahat. “Kamu boleh menang sekarang. Tapi gadis yang selanjutnya akan membuatmu uhuk uhuk uhuk!!!”
Bony dan Pilek membawa Shira ke gubuk Kakek Badril.
Seekor singa muda berjalan di depan dan membukakan jalan untuk mereka. Setiap kali ada hewan buas dan monster yang mendekat, ketika melihat singa muda tersebut, langsung lari pontang-panting. Pilek ketakutan oleh singa ini, tapi Bony mengerutkan alisnya sepanjang perjalanan tak mengerti mengapa hewan buas membantu mereka menuruni gunung.
Di tengah jalan, mereka bertemu dengan Polio. Kemudian bersama-sama turun gunung.
Tirai malam sudah turun ketika mereka sampai ke kaki gunung. Rere, singa yang menuntun mereka, kembali naik gunung ketika Bony dan dua anak buahnya membawa Shira.
Di kejauhan wilayah gunung yang tadinya terbakar masih bisa terlihat. Monster-monster elite bekerja sama memadamkan api.
Sedang warga Desa Badril masih bertanya-tanya: siapa yang berani membakar gunung Desa Badril di saat-saat seperti ini?
Amukan Tatalghia Kingdom terlihat di ufuk barat. Tapi masih saja ada orang yang iseng kurang kerjaan mencari masalah dengan Raja Gunung dan bawahannya.
Kakek Badril.
Bisa dibilang ia adalah tokoh nomor satu Desa Badril. Bukan karena pengaruhnya sangat kuat di desa, dan juga bukan karena kemampuannya yang menakjubkan.
Tetapi Kakek Badril, generasi demi generasi, dianggap orang suci bagi warga Desa Badril mengingat jasanya menyelamatkan banyak nyawa dengan obat-obatannya yang menakjubkan.
Warga desa hormat dan juga bisa dibilang akrab dengannya. Bila orang lain datang untuk merampas obat dan ramuan Kakek Badril, pasti saja selalu ada yang melindunginya seperti Bony waktu itu. Siapa pun mereka, penjahat dan bajingan sekali pun, bila ada kesempatan dan kekuatan, tak segan-segan mengangkat lengan baju mereka dan menghajar orang luar yang kurang ajar kepada Kakek Badril.
Malam ini Kakek Badril masih melukis. Pelan-pelan di bawah remang jingga cahaya lilin ia menoreh cat dengan kuasnya yang usang. Kakek tua itu sangat asyik melukis walau dengan cahaya yang kurang memadai seperti itu.
Sebuah sosok bertopeng, misterius dan mistis, adalah inspirasi lukisan Kakek Badril kali ini.
Sampai beberapa pemuda yang muncul di depan gubuknya pun Kakek Badril masih melukis. Bony dan yang lain tak berani mengganggu Kakek Badril. Mereka mengetuk pintu tiga kali, kemudian mengambil posisi duduk menunggu di luar.
Beberapa menit menunggu tanpa bersuara, Kakek Badril pun mengajak mereka masuk. Suaranya lemah dan hangat. Seperti seorang kakek kandung semua orang yang berucap kepada cucu kesayangannya.
“Kakek Badril, tolong bantu teman kami,” pinta Bony.
Dengan matanya yang tua dan lemah, Kakek Badril melihat tubuh Shira yang merebah di ranjang reyot.
“Anak ini... ada benang takdir yang menghalangi Kakek untuk menyembuhkannya,” Kakek Badril menggeleng-gelengkan kepalanya tak bisa berbuat apa-apa.
Pilek dan Polio saling bertukar pandang. Setelah Shira tak sadarkan diri dilempar oleh Raja Gorila waktu itu, diam-diam Shira juga di bawa ke gubuk ini. Kakek Badril mengatakan hal yang sama untuk menolak menolong Shira dengan halus.
Namun Bony sudah membulatkan tekadnya. “Aku mohon, Kek. Aku membawa Tuan Muda Shira ke atas gunung dan bertanggung jawab atas keselamatannya.”
“Kakek mengerti,” walau berkata demikian, Kakek Badril sama sekali tak berniat menyembuhkan Shira.
Pilek memberanikan diri maju selangkah dan memohon. “Seenggaknya tolong Bos Shira untuk siuman Kek. Kami gak mengerti apa yang terjadi padanya.”
Kakek Badril memeriksa kondisi Shira. Siapa pun yang melihat ke arah celana Shira dan melihat barangnya tegak mengerti apa yang terjadi padanya. “Kakek akan memberikan ramuan untuk menenangkan hormonnya. Siuman gak siuman, itu bergantung pada takdir.”
Kakek Badril berdiri dari duduknya dan membuka kotak sebesar dua kali satu meter dengan kunci perunggu. Di dalamnya banyak sekali macam ramuan yang tak dikenal masyarakat luas. Bila seseorang menyebarkan koleksi ramuan Kakek Badril yang ada di kotak tersebut, Benua Tiramikal akan gempar dan ratusan hingga ribuan sekte dan clan akan berlomba-lomba untuk berebut ramuan-ramuan itu.
Ia pun memilih sebuah ramuan berwarna jingga. Kemudian ia membuka tutupnya, menaruh botol ramuan tersebut di atas kompor kecil yang diletakkan di dekat Shira.
Uap ramuan yang memanas itu terasa segar dan sejuk, tapi benar-benar membuat mata menjadi berat. Pilek dan Polio menahan rasa kantuk yang tiba-tiba melanda. Namun efeknya berbeda seratus delapan puluh derajat pada Shira. Semuanya bisa melihat pelan-pelan ramuan tersebut menjadi ampuh.
“Sepuluh menit lagi dia bakal bangun,” kata Kakek Badril.
“Bagaimana dengan luka bakarnya, Kek?” tanya Bony.
Kakek Badril hanya menggeleng-geleng sambil memejamkan matanya, tak berkata apa-apa.
Sambil menunggu Shira siuman, akhirnya Polio memberanikan diri untuk bertanya satu hal yang membuat hatinya merasa janggal.
“Kakek Badril, bolehkan saya tau apa yang sedang Kakek lukis itu?” tanya Polio sambil melihat ke arah lukisan sosok bertopeng.
“Oh? Itu? Mereka adalah tamu yang akan datang nanti. Kakek ini sudah sangat tua, bertemu dengan beberapa teman lama pasti akan membuat Kakek senang.”
“Jadi mereka adalah teman Kakek Badril?” Polio menekankan kata “mereka”, ia tak mengira ada gerombolan sosok bertopeng seperti itu. Jujur saja, sosok itu membuat Polio merasa tak nyaman. Tidak hanya Polio, Pilek dan Bony pun merasa ngeri ketika melihat topeng itu.
Kakek Badril tersenyum. “Jangan dipelototi terlalu lama. Ini berbeda dengan lukisan Kakek yang lain.”
Tiga pemuda itu terkejut mendengarnya. Ada beberapa rumor di warga desa yang mengatakan kalau Kakek Badril bisa melukis makhluk gaib. Apakah ini salah satunya?
Setelah itu tiga pemuda itu tak bertanya lagi. Kakek Badril melanjutkan melukis. Beberapa menit kemudian, Shira membuka matanya.
Sebelumnya Shira, dari alam bawah sadarnya, merasa sesuatu yang ganjil terjadi pada tubuhnya. Saat ia siuman, barulah Shira menyadari tubuhnya sudah terkena luka bakar. Beruntung lukanya sudah diolesi daun es, kalau tidak begitu ia akan kerepotan karena harus merasakan kulit yang terbakar.
Pilek membantunya bangkit dari rebahan. Shira mengusap-usap matanya sebelum melihat ke arah Kakek Badril. Sontak saja, aura yang tak asing membuat pemuda itu mengangkat alis tinggi-tinggi.
Tak seperti dugaan Bony dan kawan-kawan, Kakek Badril sangat ramah dan lembut tuturnya ketika berhadapan dengan Shira. “Kamu sudah bangun anak muda.”
“Bos Shira, ini kita sedang ada di gubuk Kakek Badril. Kakek sudah membuatmu siuman,” kata Bony menjelaskan situasi.
Shira mengerti. Ini baru pertama kalinya ia datang ke sini. Teknisnya ia sudah pernah di bawa ke gubuk ini, namun Kakek Badril menolak mengobatinya saat ia tak sadarkan diri waktu itu.
“Terima kasih Kakek Badril sudah mengobatiku,” kata Shira berterima kasih dengan tulus.
“Ini gak seberapa. Kakek gak bisa membantu luka bakar dan tanganmu yang terpotong, karena ada benang takdir yang mengalangi.”
Ada ekspresi bingung di wajah Shira yang mengerutkan alisnya. Ia ingin membuka mulutnya bertanya tentang sesuatu yang mengganjal di benaknya tapi mulutnya tertutup kembali.
Kemudian ia melihat ke arah lukisan yang diciptakan Kakek Badril.
“Siapa itu?” tanyanya dengan nada penasaran.
“Mereka adalah teman lama Kakek.”
“Apa mereka punya nama?”
“Nama? Bakal jadi rumit kalau Kakek menyebutkan nama mereka di sini. Tapi kamu bisa menyebut mereka Watcher.”
Shira tak berkata apa-apa lagi. Pilek dan Polio bertanya keadaan Shira dan berkata mereka akan mengantarkan bila Shira ingin pulang. Tapi Shira berkata ia ingin tetap di sini beberapa saat dan berbicara empat mata dengan Kakek Badril.
“Apa yang kamu ingin bicarakan dengan Kakek tua ini, anak muda?” tanya Kakek Badril tersenyum lebar-lebar, ada makna tersirat di balik senyuman itu.
“Gak banyak,” kata Shira.
“Apa kamu ingin membuat Kakek ini berubah pikiran, terus menyembuhkan lukamu?”
“Kurang lebih gitu.”
Shira menjawab dengan tenang. Tiga Bony sekawan saling bertukar pandang, mengangkat alis kebingungan. Apa Shira menyimpan perasaan buruk karena Kakek Badril menolak mengobatinya? Kalau begitu, Bony sendiri yang akan membawa Shira pergi walau harus berbuat kasar. Ia disuruh kakaknya Ryntia Elzier untuk memperbaiki impresi Shira padanya.
Tapi bila seseorang bersikap tak sopan pada Kakek Badril, beda lagi urusannya.
“Kalau kamu mau mengeluh Kakek akan membuka lebar-lebar telinga Kakek,” kata kakek tua itu, sama sekali tak menunjukkan nada marah.
Bony dan dua anak buahnya mengerutkan alis ketika mendengar ucapan Kakek Badril barusan. Bagi warga Desa Badril, tak sopan bila mengeluh di depan hidung seseorang yang menolak memberi bantuan. Apalagi kepada Kakek Badril. Semua orang menganggap hal itu sebagai perkara yang tabu.
Tapi mereka bisa bernapas lega. Shira menggeleng-geleng seraya membuat senyum ramah.
“Aku hanya punya banyak pertanyaan buat Kakek Badril.”
“Oh? Pertanyaan macam apa?”
“Sebaiknya hanya Kakek Badril saja yang mendengarnya.”
Mendengar itu Bony dan dua anak buahnya mengerti. Mereka minta pamit dan pulang ke rumah masing-masing.
“Sekarang, apa yang mau kamu tanyakan?” tanya Kakek Badril.
Shira tersenyum canggung sambil mengusap-usap belakang lehernya dengan sisa satu tangannya.
Kakek Badril merasa ada sesuatu yang tersirat di balik senyum canggung Shira. “Kalau kamu bertanya hal yang tepat, Kakek tua ini akan menyembuhkanmu tanpa banyak bicara lagi.”
Shira mengangguk.
“Aku merasakan sesuatu yang gak asing dari tubuh Kakek.”
“Seperti apa?”
“Aura Kakek. Beberapa hari belakangan ini aku kenal sekali aura ini.”
Kakek Badril semakin melebarkan senyumnya.
“Awalnya aku bingung. Aku kira aku salah sangka dan hanya berdelusi. Tapi setiap detik berada di sini membuatku merasa yakin. Jadi aku bertanya pada temanku tentang Kakek Badril.”
“Teman yang kamu maksud, kamu menyebutnya Kabut Ungu, bukan?” setelah Kakek Badril berkata demikian, barulah Shira yakin sekali dengan jawabannya.
Shira sama sekali tak terkejut bila Kakek Badril mengetahui keberadaan Kabut Ungu.
“Sudah kuduga. Gak ada yang bisa kusembunyikan dari Raja Gunung, salah satu dari tiga Spirit Conductor teragung di jagat raya.”
Kakek Badril tertawa panjang. “Sekarang aku hanya Spirit Conductor yang sudah pensiun. Tapi Spirit Conductor tua ini masih punya banyak masalah yang harus diselesaikan.”
Shira mengangguk-angguk ketika dugaannya dijawab sendiri oleh Kakek Badril.
Atau Shira bisa menyebutnya Raja Gunung, Spirit Conductor yang setara dengan Kaisar Langit.
“Aku gak menyangka bakal ketahuan secepat ini,” Kakek Badril berdecak lidah kepada juniornya, yang sama sekali belum menjadi Spirit Conductor ini.
Shira mengelus dagunya karena memang ia kebingungan pertanyaan macam apa yang pertama-tama ingin ia dengar jawabannya dari sang Raja Gunung.