Bab 98 - Seperti Ayahnya, Seperti Ibunya
Usai acara diskusi tadi selesai, banyak tamu yang tetap tinggal untuk memberi selamat kepada Kepala Keluarga yang bersangkutan, Shuro Yashura.
Wajah bandit Shuro tak henti-hentinya tersenyum lebar menunjukkan gigi-giginya yang kekuningan. Wajahnya bahkan memerah karena saking gembiranya. Satu per satu tamu yang bersalaman dengannya merasa iri luar biasa pada keberuntungan pria bermuka bandit ini.
Tapi mereka tak bisa komplain. Bila sebelumnya tragedi di balai desa dengan Tatalghia Kingdom membuat orang-orang merasa waspada dan takut kepada Keluarga Yashura, sekarang mereka hanya bisa merundukkan kepala karena mengakui Keluarga Yashura kini berhak untuk berkonflik dengan raksasa seperti Tatalghia Kingdom.
Dengan bantuan Puprle Garden Sect yang melindungi dari belakang, bahkan Tatalghia Kingdom harus berpikir dua kali bila berkoar-koar bakal membantai Keluarga Yashura untuk membalas dendam Pangeran Tua Tatalghia.
Rombongan Keluarga Malikh dan Keluarga Elzier sudah pulang, dengan beberapa orang yang tetap tinggal sekedar bersenda gurau dan saling mengakrabkan satu sama lain.
Walau di luarnya bisa dikatakan aktivitas tersebut sebagai menjalin tali silaturahmi namun sebagai manusia mereka pun tak terlepas dari agenda-agenda tersembunyi dalam hati.
Shira selalu menaruh senyum yang tak natural setiap kali seseorang mengajaknya bicara akrab. Acara seperti ini membuatnya lelah sebenarnya. Bahkan ketika seorang mengeluarkan guyon dan yang lainnya tertawa terbahak-bahak, Shira hanya bisa menyungging senyum terpaksa seperti sebelumnya. Hal itu membuatnya terlihat jelas tak bisa membaur dengan keadaan.
Dalam hati Shira merasa kesal. Orang-orang ini sama sekali tak ia kenal kemarin-kemarin. Bahkan ketika mereka bertemu pun hanyalah orang asing sebelumnya. Tapi setelah statusnya naik usai Purple Garden Sect membuat proposal, semua orang langsung bersikap seperti sudah mengenalnya semenjak kecil.
Beberapa puluh menit keadaan canggung, seorang pria paruh baya berwajah pucat karena sakit dan jalannya lemah dibantu dengan tongkat menghampiri Shira. Di sebelahnya ada seorang wanita paruh baya juga mengikuti yang parasnya masih cantik dan elegan. Sekilas dilihat pun seseorang bisa menyadari kalau wanita paruh baya itu mirip sekali dengan tunangan Shira Yashura. Mereka berdua tentu saja orang tua Bhela Malikh.
Shira memberi salam, dengan sopan dan sesuai aturan adat desa. Ghalim Malikh, ayahnya Bhela, mengangguk sebagai jawaban.
“Shira, aku gak banyak melihatmu tumbuh besar. Tapi aku banyak mendengar tentangmu, terutama belakangan ini,” kata Ghalim berusaha tersenyum dengan otot wajahnya yang lemas dan pucat. “Kalau ayahmu Jhuju mendengar kabar heboh di sekelilingmu sekarang, aku gak tau bagaimana jadinya muka sahabatku itu sekarang.”
“Makasih Paman Ghalim,” Shira tak tahu harus bagaimana menjawab dalam situasi seperti ini kecuali kata terima kasih.
“Mm. Aku suka sikapmu. Dulu awalnya aku ingin kamu cuman untuk Keluarga Malikh. Tapi sekarang semua orang sudah tau sebagaimana briliannya anak muda sepertimu. Jadi aku gak bisa berbuat apa-apa sekarang, haha.”
Ghalim tertawa lebar saat berbicara dengan Shira. Istrinya di sebelah hanya diam mendengar sambil menebar-nebar senyum.
Setelah berhenti tertawa karena puas, akhirnya Ghalim mengeluarkan napas panjang seperti menyesali sesuatu.
Shira merasakan atmosfer langsung menjadi serius kemudian.
“Tapi tetep... hanya dengan mendengar kabarmu aja, aku tau semakin hari kamu semakin mirip dengan orang tuamu,” kata Ghalim dengan suara dalam.
“Orang-orang bilang kepribadianku berbeda dengan ayahku,” balas Shira.
“Pertunjukkanmu saat berduel dengan anak Blackwood itu sambil bawa-bawa gelas teh waktu itu... selain kamu, cuman Jhuju yang selalu bersikap pongah kayak orang goblog seperti gitu,” Ghalim tak segan mengeluarkan kata mengejek, tapi Shira bisa merasa hal itu malah memperlihatkan seberapa akrabnya pria paruh baya ini dengan ayahnya.
“Aku kurang hati-hati hari itu.”
Shira tak mengelak kalau sikapnya waktu itu memicu masalah yang kemudian tak bisa ia kendalikan.
Melihat sikapnya yang seperti itu, Ghalim mengangguk lagi. “Mm, mm. Kepribadianmu mirip sekali dengan orang tuamu. Tapi ketimbang ayahmu, kamu lebih bersikap seperti ibumu.”
“Ibuku?” mata Shira menjadi bulat bercahaya ketika ia mendengar ibunya disebut.
Ibu Shira pergi ketika ia masih bayi. Orang-orang bilang seorang wanita membawanya pergi saat baru saja melahirkan Shira. Setelah itu, tak ada yang mendengar kabarnya lagi.
Saat kecil Shira selalu sedih dan menangis karena tak pernah ada sosok ibu di sampingnya. Ayahnya pun, Jhuro, yang jarang sekali pulang hampir tak pernah membicarakan ibunya kepada Shira anak satu-satu yang ia miliki. Dulu Shuro sering menegur adiknya Jhuro karena melihat Shira yang kesepian makin hari kepribadiannya makin tertutup.
Shira hampir tak mengenal ibunya selain hanya tahu namanya saja. Kecuali ayahnya pun tak ada orang yang mengenal dekat sosok wanita itu. Sudah belasan tahun Keluarga Yashura menganggap ibu Shira sebagai wanita misterius karena tak ada yang tahu status serta latar belakangnya.
Hal itu membuat rasa sedih yang mengganjal di hati Shira semenjak kecil.
Melihat Shira tiba-tiba termenung, mata Ghalim menjadi berkilat dan sebuah senyumnya menjadi semakin misterius.
“Shira, katakan padaku... apa kamu mau bertemu dengan ibumu?”
Bohong bila pertanyaan itu membuat Shira tak bergetar hatinya setelah mendengar pertanyaan itu. Tapi ia mengerti keseriusan situasi. Bahkan Kabut Ungu enggan bercerita terlalu banyak tentang ibunya walau ia tahu banyak tentang ingatan dan pengalaman Shira yang lain.
“Paman Ghalim, ada alasannya mengapa ayahku gak banyak cerita tentang ibu sejak dulu...”
“Ya, kamu gak salah. Memang status ibumu sedikit agak sensitif. Dia adalah perempuan cantik, intelektual yang pendiam dan jarang membaur, berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ayahmu yang pas mudanya berandalan tulen. Dilihat dari muka mereka berdua pun mustahil kalau mereka bisa ditakdirkan bersama,” wajah Ghalim sangat serius ketika ia berkata demikian, karena itu sangat sulit membedakan apakah ia memang bermaksud demikian atau hanya sekedar guyon.
“Linlin, dia itu perempuan yang lebih suka mendekam di rumah membaca buku ketimbang berpetualang seperti ayahmu dan Paman Ghalim,” kata ibu Bhela menambahkan dari samping suaminya. Shira sedikit terkejut melihat bahkan istri dari Paman Ghalim ini juga mengenal ibunya yang sudah lama pergi.
Pemuda itu pun mencerna ucapan mereka sebelum akhirnya bertanya.
“Apa ada cara buatku bertemu dengan ibuku?”
“Ada. Tapi susah. Sebelum itu, kamu harus tau kalau status ibumu yang sebenarnya—”
Tiba-tiba saja suara Ghalim Malikh terhenti. Matanya yang lesu menjadi waspada melihat sebuah sosok muncul di samping Shira.
“Apa Tuan dan Nyonya Ghalim ingin camilan?”
Sosok itu berwajah tua. Shira menoleh, melihat Yulong membawa nampan dengan kue-kue kering.
Ada yang berbeda dengan kepala pelayan tua itu hari ini. Sikapnya yang biasanya sopan kini tak henti-hentinya mengeluarkan aura yang mengintimidasi. Matanya tajam, ia tak menyembunyikan fakta kalau ia tengah menekan Ghalim dengan sorotan mata setajam itu.
Shira, karena lama mengenal Yulong, mengerti kalau pelayan ini sengaja ikut campur dalam percakapan mereka. Sedang Ghalim sendiri, keningnya mulai berkeringat merasa aura Yulong mencekiknya secara tiba-tiba.
“Kepala pelayan, kami sedang bicara serius sekarang,” istri Ghalim melambaikan tangannya, memberi isyarat kalau Yulong sedang mengganggu dan menyuruhnya untuk enyah dari situ.
Tapi Yulong tetap diam. Senyum pelayannya yang sopan kini semakin kentara dinginnya. “Ini adalah kue jahe camilan spesialis dapur kami. Aku diberitahu Tuan Jhuro dulu kalau Tuan Ghalim menyukai kue kering semacam ini.”
Yulong menyepit sebuah kue kering yang lumayan keras dengan jari jempol dan telunjuknya. Mengangkat dan memperlihatkan kepada Ghalim, sebelum akhirnya kue itu tiba-tiba hancur dalam jemarinya.
“Oh, maaf, kue ini terlalu lama dipanggang jadi langsung rusak ketika dipegang,” sama sekali tak ada nada menyesal di ucapannya. Malah sudut bibir Ghalim berkedut mendengar ancaman tersirat di ucapan pelayan tua itu.
“Kepala pelayan Yulong, tolong jangan sekarang,” istri Ghalim masih berusaha mengusir pelayan tua tersebut dengan nada halus.
“Ah! Oh! Ah! Sepertinya ulu hatiku terasa sakit lagi,” tapi malah Ghalim mencari alasan sambil memegang perutnya yang sakit. Ia melihat ke arah istrinya dan memberi peringatan lewat lirikannya untuk tak berbicara lagi.
Mereka kemudian memutuskan untuk pulang. Tapi sebelum keluar ruangan Ghalim mengatakan hal terakhir pada Shira.
“Aku adalah pria yang lemah. Bahkan oleh keluarga kecil seperti Blackwood pun aku jatuh pada rencana picik mereka. Semenjak dulu aku gak pintar. Hanya tukang pukul biasa. Karena itu ayahmu Jhuju sering menyelamatkanku dari masalah besar,” ia berbicara kepada Shira sambil sesekali mengecek ekspresi wajah Yulong.
Ghalim melanjutkan. “Walaupun ada orang yang mengancamku tetap diam, tapi aku tetaplah mantan anggota Liberators. Darah itu tetap mengalir di nadiku. Di Liberators, siapa pun bisa membeli informasi dari anggotanya asal harganya pas. Kebetulan aku berhutang banyak pada ayahmu dulu. Dan kalau Jhuju gak pernah sempat menarik hutang budi itu, suatu hari nanti, kamu bisa pakai buat membeli satu pertanyaan apa pun dariku, Shira.”
Shira berkedip secara spontan. Akhirnya ia mengangguk mengerti.
Sedang Yulong di sampingnya menunjukkan wajah tak senang. “Tuan dan Nyonya Ghalim, mari kutunjukkan jalan keluar.”
Dengan begitu, Ghalim tak bisa berbuat apa-apa selain membawa istrinya pulang. Karena dalam hati, sebenarnya ia sendiri takut kalau saja benar-benar sudah membuat Yulong marah karena ucapannya pada Shira.
Sewaktu berpetualang saat muda, Ghalim banyak mendapatkan pengalaman dan melihat hal-hal luar biasa.
Kesempatan melihat Yulong memegang senjata adalah salah satunya.
Karena itu, dalam hatinya, ia lebih memilih membuat seratus bahkan seribu keluarga seperti Blackwood marah ketimbang mengantagoniskan seorang misterius seperti Yulong.