Bab 60 - Arus Pendek
Kakek Lharu masih menunggu. Yulong sudah pergi sejak tadi.
Kakinya bergerak-gerak karena tak sabaran. Ia sudah menunggu semenjak pagi, bahkan subuh, tapi tak ada tanda orang yang ia tunggu datang.
“Khambing! Lama bener si semfrul itu!” gerutunya pada udara kosong.
Matahari sudah berdiri di atas. Kini turun hingga ke ufuk. Cakrawala pun menjadi jingga, hari mulai padam, hampir berganti malam.
Saat matahari hampir terbenam, barulah terlihat bintik hitam kecil di angkasa. Saat Kakek Lharu melihatnya, dalam hati ia senang dan lega, namun tak bisa membandingi seberapa kesal ia sekarang.
“Mbah Lharu, maaf sudah membuatmu menunggu sebentar,” kata sebuah suara muda dari atas burung elang raksasa itu.
“Sebentar? Sebentar matamu!” umpat si kakek melihat elang itu pelan-pelan mendarat di tanah.
“Tapi aku tepat waktu, kan?” tanya pemuda dua puluhan yang duduk di atas elang.
“Tak tunggu enthe subuh-subuh, gak muncul juga! Pagi tak tunggu lagi sampai sekarang, enthe semfrul! Hampir dua belas jam ini lebih lewatnya, enthe bilang tepat waktu?!”
“Eh? Bukannya Mbah Lharu bilang di surat untuk berangkat subuh?” tanya pemuda itu polos.
“Enthe... yang aku tulis subuh datengnya, bukan berangkat, SEMFRUL!”
Setelah meraung-raung dengan nadi timbul di leher dan keningnya, Kakek Lharu langsung melompat. Lompatannya secepat kilat, tak bisa terlihat dengan mata telanjang. Kecuali memiliki dextrity tingkat dewa, mustahil melihat dengan jelas gerakan Kakek Lharu.
swiiish!
Pemuda itu merasakan bulu kuduknya naik semua. Dari gerakan melompat hingga muncul di sampingya, kecepatan Kakek Lharu hanya dapat dihitung dalam skala milidetik. Refleks manusia biasa, kecuali dengan agility tingkat dewa, tak akan mampu meresponsnya.
Tapi si pemuda itu sudah terbiasa dengan gerakan ini. Jadi di hatinya, sempat ia merasakan bahaya yang sangat singkat. Tapi walaupun begitu, ia tak bisa berbuat apa-apa.
BUUUKK!!!
Dari samping pinggangnya di tendang. Ia pun terlempar ke udara, berputar-putar, hinga mendarat terguling-guling di tanah.
“Aduuuhhh... duhh...” keluhnya kesakitan. Ia pun mencoba berdiri dengan kesusahan, sambil memegangi pinggangnya yang nyeri ditendang Kakek Lharu.
“Mbah masih galak aja seperti dulu,” katanya sambil tersenyum masam. “Sama sekali gak berubah.”
“Ghuntur bahlul, enthe masih goblok aja seperti dulu. Sama sekali gak berubah,” balas Kakek Lharu dengan mata melotot. Ia sudah berdiri di atas burung elang yang dibawa Ghuntur sekarang.
“Apa aku bakal ikut atau diam di sini Mbah?” pemuda itu langsung bertanya soal bisnis.
Kakek Lharu mengeluarkan sekantung uang dan melemparkannya ke arah Ghuntur. Dengan sigap Ghuntur menangkapnya dengan satu tangan.
Hanya dengan menyentuhnya, Ghuntur tahu berapa nilai yang ada di dalam kantung tersebut. Di dalamnya bukanlah koin biasa, Ghuntur tak bisa menahan senyumnya ketika selesai menghitung untung yang ia dapatkan dalam benaknya.
“Di desa ini ada keluarga yang bernama Yashura. Di situ kamu kerja. Jangan biarkan ada masalah besar. Nanti juga bakalan ada arwah yang dateng. Kamu bakal cepat mengenalinya, karena mukanya semfrul kayak kamu,” kata Kakek Lharu. “Awasi arwah itu, tapi jangan cari masalah. Kamu ngerti, kan?”
“Arwah ini sepertinya berbahaya ya Mbah? Apa harus ada info yang harus kutahu?”
“Info ya? Hmmm. Namanya Gyl von Tiramikal. Lord Darinkha sedang mencari cara untuk membasminya. Tapi ada masalah entah aku juga gak tau,” jawab Kakek Lharu. “Oh ya, mungkin ini info tambahan. Tapi pada dasarnya, Moon Temple hampir bubar gara-gara dia?”
“Eh? Ada arwah seperti itu tinggal di keluarga di desa kecil seperti ini?”
“Pokoknya kerja aja kamu. Nanti kalau aku balik bakal ada bonus.”
Ghuntur pun langsung berdiri tegak dan sigap memberi hormat. “Siap siap siap!”
Kakek Lharu pun dalam hatinya puas jika pemuda yang bernama Ghuntur ini berjaga-jaga untuk keluarganya.
Ghuntur, adalah salah satu pemuda yang berasal dari panti asuhan yang dibangun oleh Kakek Lharu. Walau panti asuhan itu secara resminya milik Moon Temple, tapi sebenarnya mereka tak memiliki hubungan erat dengan kuil itu.
Panti asuhan itu memungut anak-anak gelandangan yang kehilangan orang tua mereka. Setelah diberi kebutuhan dasar seperti tempat tinggal, pakaian, dan makanan yang cukup, mereka pun dididik menjadi petarung agar bisa menafkahi diri sendiri saat dewasa.
Entah ide Kakek Lharu atau siapa pada awalnya, tapi para petarung yang tumbuh dari panti asuhan itu bebas untuk memilih jalannya sendiri. Tak sedikit yang beralih masuk ke fraksi musuh Moon Temple setelah diiming-imingi banyak harta. Tapi sebagian besar tentu tahu siapa yang telah mengubah hidup mereka menjadi lebih baik, memilih untuk bergabung dengan Moon Temple dan berakhir menjadi pasukan Templar Elite yang konon merupakan pasukan terbaik Moon Temple. Dan pasukan ini, sangat setia berada di bawah pimpinan Kakek Lharu.
Karena pada dasarnya teknik dan skill yang diajarkan di panti asuhan itu adalah koleksi pribadi Kakek Lharu, tentu lulusan panti asuhan adalah terbaik dari yang terbaik, terutama mereka para Swordsman-nya, adalah pasukan yang mengerikan jika sudah turun ke medan pertempuran.
Saat ini, si Ghuntur, dengan usianya di umur dua puluh lima, adalah lulusan dengan potensi terbaik panti asuhan itu. Ia adalah Templar dengan presitasi yang menakjubkan. Namun ketika Moon Temple lepas dari Lord Darinkha, dan banyak sepuh-sepuh tua seperti Kakek Lharu yang pensiun, Ghuntur juga memilih untuk berhenti menjadi Templar dan berpetualang seperti Kakek Lharu sewaktu muda.
Kakek Lharu mendesahkan napas dalam hati. Jika saja Moon Temple tak ada masalah seperti itu, dan ia masih menjadi Pendeta Tinggi, ia barangkali akan mendidik Ghuntur untuk menjadi Pendeta Tinggi selanjutnya. Mengingat itu pun ia mengingat Jhuro. Kakek Lharu, secara resmi, tak pernah mengangkat murid. Tapi ada dua anak muda dalam hidupnya yang ingin ia kembangkan secara pribadi. Ghuntur dan Jhuro.
Tapi dua anak muda itu tak bisa ia kendalikan. Ghuntur menyukai petualangan dan uang. Jika bukan karena hutang budinya pada Kakek Lharu barangkali ia sudah kabur entah ke mana sejak dulu.
Sedang Jhuro, dengan kelas uniknya dan sikapnya yang banyak akal yang dibanggakan Kakek Lharu, malah memilih untuk berada di posisi di mana Kakek Lharu selalu menjadi antagonistnya.
Barangkali karena itu, setiap kali ia melihat Ghuntur yang selalu cengar-cengir sendiri tanpa sebab, ia teringat dengan Jhuro.
Ia mengingat telah menjadi seorang kakek yang gagal mendapatkan respek dari cucunya.
“Aku pergi sekarang,” kata Kakek Lharu. Ia pun duduk bersila di atas elang raksasa yang mulai mengepak-ngepakkan sayapnya.
“Hati-hati di jalan Mbah,” kata Ghuntur melambai-lambaikan tangannya dengan ceria.
Elang itu membawa Kakek Lharu pergi ke angkasa. Wajah Kakek Lharu terbasuhkan cahaya jingga keemasan matahari yang mulai terbenam, ia terbang menuju ufuk barat yang tengah bernuansakan melankolis itu.
Selain Ghuntur, ada orang lain yang melambaikan tangannya ke arah matahari terbenam. Ia adalah seorang nenek tua. Kakek Lharu tak melihatnya, hanya memberikan punggung kepada nenek itu dari jauh.
Nenek Sari mendesahkan napas untuk meredakan sesak di dadanya. Ia menunggu sejak hari ini dimulai untuk Kakek Lharu memberikan salam pamit kepadanya. Tapi kakek itu tak kunjung datang kepadanya. Hal itu membuat Nenek Sari kecewa bukan main.
“Lyla apa yang kamu lakukan? Turun dari genteng!” seru suara Bhela dari bawah.
Nenek Sari menoleh, ia melihat gumpalan bola berbulu ungu yang tengah berguling di atas genteng, dan Lyla, dengan langkah gemetaran, berusaha mengejarnya di atas genteng pulang.
“Apa yang kamu lakukan di sini, Lyla?” tanya Nenek Sari, yang sejak tadi juga berada di genteng.
“Momon... dia kabur ke sini...” kata Lyla sambil menurunkan wajahnya ke bawah untuk melihat langkahnya dengan teliti.
“Hati-hati, awas jatuh,” kata Nenek Sari. Walau ia memperingati begitu, ia akan dengan mudah menangkap tubuh Lyla jika terjadi apa-apa.
Nenek Sari kemudian melihat ke arah Momon, makhluk aneh peliharaan Lyla. Ia tahu makhluk ini awalnya milik Shira, yang ia berikan kepada Lyla setelah gadis itu jatuh hati pada benda bulat berbulu ungu ini.
Dan ketika nenek itu melihat lagi bola itu, ia menyadari Momon dan dirinya melihat ke arah yang sama.
Ia pun memungut Momon.
“Apa kamu ke sini untuk melihat orang itu pergi?” tanyanya dengan nada lembut.
Momon melihat ke arah Nenek Sari, dan mengedip-ngedipkan kedua matanya yang biru bulat beberapa kali sebagai jawaban.
Nenek Sari melihat ke arah mata biru yang bulat itu. Awalnya tatapannya lembut. Tapi tiba-tiba alisnya mengerut dan matanya menjadi tajam, ia tengah menyadari sesuatu.
“Nenek Sari, apa Momon sudah membuatmu marah?” tanya Lyla ketika melihat air muka Nenek Sari tak sedap dipandang tengah memeriksa Momon tajam.
“Lyla... apa makhluk ini selalu berada di sampingmu setiap saat?” tanya nenek itu dengan nada dingin.
Mendengar nada Nenek Sari yang seperti itu, Lyla menjadi ketakutan. “Ya...”
“Terus apa kamu membawa benda ini bersamamu untuk mandi?” suara Nenek Sari sedingin es, langsung membuat bulu kuduk yang mendengarnya merinding kaku.
Lyla tak tahu harus menjawab bagaimana. Ia menyukai bermain di air bersama Momon, jadi ia membawanya ketika mandi. Lagi pula Momon hanyalah peliharaan saja. Bahkan Lyla tak tahu apakah Momon itu laki-laki atau perempuan. Jadi apa ruginya membawa Momon mandi?
Tapi Lyla tak tahu yang sebenarnya terjadi. Itulah yang membuat Nenek Sari mengamuk dalam hati.
“Nak Shira, kukira kamu anak baik-baik,” bisik Nenek Sari geram, melihat tajam ke arah Momon.
Tuing, Momon langsung melompat kabur ketakutan. Tanpa ragu ia bergelinding dan melompat dari atas genteng.
“Momon!” seru Lyla. Ia pun membalikkan badannya untuk berjalan turun dari genteng dengan gerakan kakinya yang gemetaran.
Nenek Sari, dengan amarahnya yang masih membara dari rasa kekecawaannya dan rasa kesalnya, hanya menatap dingin Momon pergi. Dalam angin yang berhembus pelan, ia berbisik, “laki-laki, gak bisa dipercaya.”
Sedang Shira, di kediaman Keluarga Yashura, sudah basah tubuhnya oleh keringat dingin. Sambil menghembuskan napas panjang ia mengusap keringat di keningnya.
“Master, ada apa?” tanya Kabut Ungu.
“Nenek Malikh itu sepertinya ingin membunuhku,” kata Shira pelan.
Kabut Ungu terbelalak. Mengapa tiba-tiba nenek itu ingin membunuh Shira? Apa Masternya sedang berkata serius?
Apa yang sebenarnya terjadi?
Hanya Shira, Nenek Sari, dan Tuhan lah yang tahu.
Beberapa hari kemudian, balai desa ramai oleh pengunjung. Beberapa pedagang membuka stan makanan di depannya. Hal itu biasa jika ada acara-acara yang menarik banyak pengunjung.
Bintang kali ini adalah Bhela Malikh. Dan hari ini, adalah hari di mana duel antara Shira Yashura, tunangannya, dan juga si penantang, Frane Blackwood, berlangsung.
Banyak gadis yang ingin menjadi Bhela saat ini. Di perebutkan oleh dua laki-laki di atas gelanggang yang dipenuhi oleh penonton. Tapi tentu saja jika mereka menjadi Bhela, mereka berharap Frane, seorang pemuda kaya raya memenangkan mereka dan merebut mereka dari pertunangan yang membosankan itu.
Saat ini, di antara penonton, hampir tak ada yang berpihak pada Shira. Bahkan ketika pemuda itu tak terlihat di mana-mana, tak ada yang benar-benar peduli.
Padahal duel akan dimulai setengah jam lagi.
Yulong berkeliling mencari Tuan Muda Shiranya. Seperti biasa, ia menanyakan pelayan-pelayannya dan menyuruh mereka berpencar untuk mencari Shira.
Sebenarnya, dengan persepsinya, ia dengan mudah menemukan pemuda itu. Tapi dari awal ia datang ke sini, Yulong tak pernah menggunakan mana-nya. Dan ia selalu bersikap seperti pelayan biasa yang tak bisa bertarung sama sekali.
Frustrasi, ia pun melihat ke atas. Di atas genteng duduk seorang pemuda dua puluh lima yang beberapa hari lalu ia kenal lewat rekomendasi Kakek Lharu.
“Ghuntur, apa kamu lihat Tuan Muda Shira?” tanya pelayan tua itu.
“Shira? Oh, ya. Aku melihat mereka,” jawab Ghuntur dengan wajah yang aneh.
“Mereka? Hei, hei. Kenapa mukamu begitu? Apa ada yang salah.”
Ghuntur pun tersenyum masam. “Yulong, sepertinya aku melihat hal yang seharusnya gak kulihat,” katanya.
“Apa yang kamu lihat?”
“Aku melihat... kapal berlabuh di pantai.”
“Hah?”
“Aku melihat... arus pendek.”
“Ghuntur, ngomong apa kamu. Yang jelas!”
“Aku melihat mereka berciuman,” jawab Ghuntur setengah berbisik.
Hening.
Wajah Yulong berubah serius. Ia pun bertanya lagi kepada Ghuntur.
“Kalau kamu bohong, aku akan mengulitimu secara pribadi,” ancam Yulong menambahkan.
“Aku gak bohong. Aku melihat Tuan Muda Shira-mu dan seorang cewek berciuman. Tuh, tuh! Lihat, cewek itu sudah keluar!”
Mereka berdua pun menoleh ke arah yang sama. Seorang gadis, yang tengah memeluk bola berbulu ungu di dekapannya, berjalan tergesa-gesa dengan wajah dan kuping yang sudah menjadi merah menyala.