Bab 93 - Nasib Pangeran Tatalghia

Kejadian aneh melanda saat Shira termenung di bawah langit malam.

Gubuk kecil Kakek Badril sudah tak ada lagi. Semua menghilang terserap dalam tubuhnya. Ia bertanya pada Kabut Ungu dalam benaknya tapi tak mendapat jawaban. Sepertinya ia sama seperti Shira, membutuhkan waktu untuk mencerna apa yang terjadi sebelumnya.

Saat Shira melangkah pulang, ia bertemu dengan Bony. Rupanya anak muda itu kembali untuk menjemput Shira.

“Aku dimarahi kakakku karena meninggalkanmu sendirian di sini,” kata Bony. “Ayo kuantarkan pulang.”

Shira menurut dan mengikuti di belakang Bony, tak membuka mulutnya sama sekali.

Biasanya ada aktivitas di malam hari di Desa Badril. Atau penjaga desa yang berpatroli dari hewan buas liar atau orang-orang mencurigakan. Tapi malam ini, seperti yang diduga, sepi sekali. Bila saja dari celah-celah jendela rumah penduduk desa tak terlihat cahaya lilin, para pendatang pasti bakal mengira kalau ini adalah desa mati.

Shira dan Bony berdiri di depan warung makanan yang biasanya tutup larut malam. Bony mengetuk dengan tak sabaran selama lebih dari lima menit sebelum akhirnya yang punya warung keluar dengan sebuah senyum terpaksa. Tak ada yang bersemangat berbisnis di situasi menegangkan seperti ini. Tetapi Shira ingin membeli kue untuk dibawa pulang untuk jaga-jaga bila kakak sepupunya Mila marah padanya nanti.

Karena warung itu libur, jadi Shira harus menunggu kuenya dimasak dari adonan yang sudah siap sejak pagi. Bony yang menemaninya meminta dibuatkan seporsi makan malam jadi Shira pun dengan santai ikut memesan menu yang sama. Cepat saja, warung yang tadinya tutup kini terpaksa buka karena pemilik toko sama sekali tak berani membuat dua anak muda ini menjadi kesal.

Nama Yashura, serta Bony Elzier di Desa Badril, dalam beberapa hari ini sudah disetarakan dengan iblis yang turun ke bumi oleh warga desa.

“Lukamu sudah sembuh?” tanya Bony memulai percakapan.

“Mm. Kakek Badril akhirnya mau mengobatiku,” kata Shira. “Bagaimana keadaan habis itu? Apa kita bakal kena hukum karena sudah bakar hutan?”

“Monster elite yang tinggal di hutan kerja sama untuk padamin api. Setelah aku pulang tadi kakakku bilang kita gak bakal dapat masalah. Tapi pelayanmu sama arwahnya menghilang entah ke mana.”

“Apa kamu memang bisa melihat arwah?”

“Semenjak hari itu aku mengalami banyak hal,” Bony merujuk hari di saat seseorang mencoba membunuhnya di pasar.

Mereka berbincang lagi. Shira tak lagi kaku berinteraksi dengan Bony. Tapi ia tak menyukai bagaimana pemuda itu mengeluarkan aura mengintimidasi kepada pemilik warung seperti seorang berandal, tampak mencari peluang untuk bisa makan tanpa membayar. Yang ternyata sangat efektif. Pemilik warung mengusap keringat terus-menerus walau angin malam dingin menggigil dan selalu mengangguk setiap kali Bony berbicara, yang akhirnya dengan senyum dan sikap terpaksa lagi menolak uang untuk makanan mereka. Shira menggelengkan kepala diam-diam, menaruh beberapa koin uang dan langsung berbalik pergi membawa kue yang baru saja matang.

Di perjalanan lagi mereka berbincang sedikit. Walau sebenarnya dialog itu hanya seputar Bony yang menanyakan dan mencari topik, sedang Shira hanya menjawab dengan singkat dan tak bertele-tele. Untuk seorang yang jarang bersosialisasi seperti Shira, ia membutuhkan usaha ekstra untuk membuat percakapan tak menjemukan.

Saat gerbang kediaman Keluarga Yashura sudah terlihat, Bony akhirnya bertanya.

“Beritahu aku di mana aku bisa menemukan kakek yang menyembuhkanmu,” ucap Bony, nadanya datar tak memohon juga tak memaksa.

Shira mengangkat sebelah alisnya mendengar itu. “Apa maksudmu? Apa Kakek Badril gak ada di gubuknya?” ia merasa aneh, walau mulai merasakannya semenjak ia menyebut nama Kakek Badril sejak di warung tadi. Wajah Bony tampak tak acuh mendengar nama itu.

“Ya. Namanya Kakek Badril? Beritahu aku di mana gubuknya. Barangkali kalau ada yang terluka kita bisa meminta bantuannya.”

“Bony... kita baru saja dari gubuk Kakek Badril. Kalian membawaku ke situ pas aku gak sadarkan diri.”

Bony mengerutkan alisnya seolah-olah ia tak percaya ucapan Shira. “Aku sama Pilek dan Polio membawamu ke toko Pak Urip terus meninggalkanmu di situ.”

Apa maksudnya itu? Jelas-jelas mereka datang ke gubuk Kakek Badril tadi.

Shira tak berkata apa-apa sesaat. Kemudian ia berkata, “Kakek Badril sudah pergi sekarang. Aku gak tau kapan dia bakal balik lagi.”

Dia sudah pergi menjadi kabut ungu dan diserap oleh tubuhnya. Tapi peristiwa itu terlalu aneh bila diceritakan pada orang lain.

“Gitu ya.” Bony hanya mengantarkan Shira ke depan gerbang kediaman Yashura. Lalu pergi lagi kembali ke rumahnya.

Di depan gerbang, beberapa prajurit East Tiramikal Kingdom berjaga. Seorang penjaga gerbang Yashura juga sedang bertugas. Mereka sedang bermain catur sambil meminum kopi panas. Saat Shira berjalan melewati gerbang, penjaga gerbang dan para prajurit memberikan salam hormat kepadanya.

Shira menghentikan langkahnya dan bertanya kepada si penjaga gerbang.

“Apa kamu pernah mendengar nama Kakek Badril?”

“Kakek Badril?” si penjaga gerbang menggelengkan kepalanya. Ia bahkan tak perlu mengingat-ingat. Seseorang yang menggunakan nama desa sebagai namanya pastilah seorang unik yang bakal diingat sekali namanya disebut.

Aneh. Shira melanjutkan jalan ke rumah tempatnya tinggal. Saat ia bertemu dengan seorang pelayan yang belum melarikan diri dari Keluarga Yashura, hal pertama yang Shira tanyakan adalah Kakek Badril. Jawabannya sama. Tiba-tiba saja, tiga orang yang Shira temui tak mengingat apa-apa tentang Kakek Badril.

“Kabut Ungu, apa Raja Gunung menggunakan semacam sihir setelah dia bicara padamu?”

Kabut Ungu tak menjawab. Shira mengangkat bahunya dan diam-diam menaruh kue yang ia beli di atas sebuah meja hingga akhirnya mencuci kaki, berjalan malas ke kamarnya dan tidur.

Di sebuah desa tingkat dua di selatan Desa Badril.

Sebuah penginapan tengah sibuk menjamu seorang tamu yang sangat terhormat. Wajah manajer penginapan tersebut sangat serius. Matanya melotot saat melihat para bawahannya keluar masuk dari pintu dapur. Ia tak akan membiarkan kesempatan untuk satu orang pun bermalas-malasannya. Karena di tangannya ada cambuk, sudah ada lima orang yang merasakan pedasnya disiplin si manajer.

“Kamu siapkan ayam ternak terbaik! Potong ikan yang paling besar dan paling segar! Pastikan kue yang keluar dari pemanggang adalah kue yang terbaik yang pernah kamu buat dalam hidupmu! Tamu kita itu pangeran! Pangeran Tatalghia!”

Si manajer tak henti-hentinya menekan para koki dan pelayan dengan ucapan seperti itu.

Pangeran Tatalghia. Setelah pamannya mati dibunuh, ia pingsan tak sadarkan diri karena saking ketakutannya. Bangun-bangun ia diikat oleh seorang pria aneh yang menyebut dirinya Ghuntur.

Ghuntur sangat kejam. Ia menyiksa Pangeran Tatalghia seharian penuh. Walau sebenarnya ia berkata ingin bereksperimen dan membutuhkan kelinci percobaan. Pangeran Tatalghia mengira ia akan mati hingga akhirnya beberapa wanita berpakaian gelap misterius datang dan berbicara panjang lebar dengan Ghuntur. Pangeran Tatalghia dilepaskan, para wanita itu membawanya tanpa berkata apa-apa padanya sebelum melepaskan si pangeran di sebuah tempat terbuka yang tak ia kenal sama sekali.

Para wanita itu tak memberi bantuan apa pun selain roti dan air. Mereka tampak tak ingin berurusan dengan Pangeran Tatalghia walau pangeran tersebut membujuk mereka sampai mulutnya berbusa. Sehari ditinggal sendirian, akhirnya sebuah gerobak kecil lewat dan memberi tumpangan padanya ke sebuah desa.

Di desa itu, Pangeran Tatalghia datang ke sebuah markas tentara bayaran lalu menjanjikan mereka harta dan wanita bila mereka bisa membawanya pulang ke Tatalghia Kingdom dengan selamat.

Peristiwa di Desa Badril, disiksa oleh Ghuntur, telah membuat serangan batin yang luar biasa pada Pangeran Tatalghia. Untuk beberapa hari ia bersikap kaku dan ketakutan seperti anak kucing di suatu tempat asing. Lambat laun, karena sikap para tentara bayaran yang selalu menjilat dan memperlakukannya seperti pangeran dari negeri kaya, sikap angkuhnya pun perlahan-lahan kembali seperti sedia kala.

Tak ada yang tahu Pangeran Tatalghia berada di sini sekarang. Entah orang-orang penginapan dan para tentara bayaran menutup mulut mereka atas perintah sang pangeran. Rupanya dalam hati, ia masih takut orang-orang gila dari Desa Badril itu berubah pikiran.

Selain tak meminta bayaran, si pemilik penginapan malah tak segan-segan menyuruh keponakannya untuk melayani Pangeran Tatalghia. Ditemani seorang wanita muda cantik yang pandai menggoda, sang pangeran bahkan masih meminta gadis pemusik untuk akrab dengannya. Di penginapan seperti itu, tak ada yang menolak permintaannya. Mereka tahu bila Pangeran Tatalghia kembali ke Tatalghia Kingdom nanti usaha mereka akan diupah ratusan kali lipat.

Jadi Pangeran Tatalghia, yang berpikir ia masih bisa kembali ke kehidupan hedonisnya, tak henti-hentinya mengeluarkan tawa keras sambil mencolek-colek wanita yang ada di sampingnya.

“Mana minumanku? Kenapa pelayannya lama sekali?” komplain Pangeran Tatalghia.

“Sebentar lagi, Pangeran. Jamuan terbaik butuh waktu untuk menyiapkannya,” ujar wanita bergaun ungu, keponakan dari pemilik penginapan.

Sang pangeran muda tersebut tak berkata apa-apa setelah itu. Ia membiarkan wanita bergaun ungu menyelipkan anggur ke bibir sang pangeran sambil bercumbu ringan.

Pangeran Tatalghia senang atas pelayanan si wanita bergaun ungu ini, sampai-sampai tak sabar untuk melihat pelayan tingkat berikutnya. Tapi kepada gadis yang memainkan alat musik di sebelahnya lagi, ia hanya memberikan tatapan tak puas.

“Tang Feibao, apa badanmu gak enak lagi?” tanya wanita bergaun ungu dengan senyum di wajahnya. Tapi seseorang bisa melihat jelas dari matanya ia tak menyukai sikap gadis itu yang tak bisa fokus di hadapan tamu penting seperti ini.

“Perasaanku gak enak sekali Nona Muda. Bisakah aku mengambil istirahat?” pinta gadis itu dengan nada lemas.

Pangeran Tatalghia tak berkata apa-apa, hanya mendengus ringan. Tapi hal itu seperti dekret raja yang bisa membunuh ratusan ribu jiwa rakyatnya.

“Coba makan buah, badanmu bakal mendingan,” kata keponakan pemilik penginapan. Ia tak ingin gadis ini berlama-lama membuat Pangeran Tatalghia merasa tak senang.

“Bukan begitu Nona Muda...”

Akhirnya Pangeran Tatalghia mulai merasa jengkel. “Kalau kamu gak suka kamu boleh pergi. Tapi suruh yang menyiapkan jamuannya lebih cepat lagi.”

Jika ini hari biasa, ia tak akan melepaskan gadis secantik itu dengan mudahnya. Tapi suasana hati Pangeran Tatalghia sangat buruk sekali mengingat semua rombongan Tatalghia Kingdom barangkali sudah mati semua sekarang.

“Orang-orang kampung itu berani berbuat seperti ini padaku,” mata Pangeran Tatalghia menjadi merah darah dan giginya menggertak-gertak keras setiap kali ia mengingat kejadian tempo hari.

Pangeran Tatalghia tahu ia selamat karena orang-orang kampungan dari Desa Badril itu tak ingin membuat masalah terlalu besar. Sebenarnya, bila tak ada yang mati hari itu, walau Keluarga Yashura memberi pelajaran pada Pangeran Tatalghia muda karena sudah membuat tangan Shira terpotong, Tatalghia Kingdom barangkali tak mengejar masalah terlalu jauh mengingat Keluarga Yashura masih berada di bawah perlindungan Pendeta Tinggi Moon Temple.

Tapi karena para pengawalnya sudah dibantai, serta pamannya Pangeran Tua Tatalghia dibunuh di Desa Badril, tak akan ada yang mengkritiknya di kerajaan bila Pangeran Tatalghia muda membawa pasukan untuk meratakan Desa Badril bersama dengan isinya.

“Kalian semua akan disembelih seperti kambing dan babi, hmph!” Pangeran Tatalghia tak segan menyembunyikan kemarahannya.

Wanita yang menemaninya berusaha untuk menenangkan suasana hatinya dan memberikan hiburan tambahan. Tapi Pangeran Tatalghia membentaknya karena terlalu banyak hal yang membebani pikirannya sekarang.

“Mana minumanku? Lamanya!”

“Biar aku tanyakan dulu ke dapur, Pangeran. Tolong tunggu sebentar,” wanita bergaun ungu itu bangkit karena ia juga merasa menyiapkan jamuan biasanya tak memakan waktu selama ini. Apalagi tamu mereka sekarang adalah tamu dengan status tertinggi yang pernah mereka layani.

Pangeran Tatalghia mendengus lagi. Langkah wanita itu kecil tapi cepat-cepat karena gaunnya yang ketat. Membuat si pangeran jadi lebih tak sabaran melihatnya.

Tapi ketika wanita bergaun ungu itu membuka pintu ruangan, ia diam mematung.

Sebuah sosok misterius, kurus kering seperti kerangka berdiri setinggi dua meter, berdiri di depan ambang pintu seakan-akan sudah menunggu seseorang membuka pintu semenjak tadi. Siapa pun akan merasa ngeri ketika merasakan hawa membunuh yang menyeruak keluar dari kulit-kulitnya yang kering kerontang seperti tanah tandus.

puurtt

Sosok itu mencekik leher wanita bergaun ungu. Dengan sedikit tenaga, ia langsung membuat kepala si wanita putus.

Wajah Pangeran Tatalghia, yang baru saja bangun dari mimpi buruknya di Desa Badril, langsung memutih layaknya semua darah sudah menyelip tumpah dari dalam tubuhnya.

“Apa orang ini yang kamu cium baunya?” tanya sosok itu.

Sosok lain pun muncul untuk memeriksa pangeran di dalam ruangan. Tubuhnya kurus pendek tapi kedua tangannya sebesar batang pohon, menyentuh tanah dan membantunya jalan seperti gorila.

Orang yang baru muncul itu pun memeriksa Pangeran Tatalghia dengan dua mata berwarna merahnya yang dimicingkan.

“Yap. Aku yakin dia ini orangnya.”

“Apa kamu bener-bener yakin?” tanya sosok kurus itu.

“Aku gak pernah salah kalau melacak bau khas logam emas dari langit,” kata orang yang mirip gorila. “Tapi aku merasa dia hanya membawa dua sampai tiga keping uang emas langit maksimal.”

Sosok kurus itu mengeluarkan senyum lebar yang bisa membuat hantu ketakutan saking seramnya. “Siapa yang menyuruhmu memegang hal yang harusnya gak dimiliki manusia sepertimu. Kita bakal punya quality time sampai kamu menjelaskan dari mana kamu mendapatkan uang itu.”

Tatalghia Kingdom memiliki sebuah kristal yang berfungsi untuk melihat kondisi tubuh anggota kerajaan di istana mereka. Beberapa hari yang lalu semua orang gempar ketika kristal Pangeran Tua Tatalghia pecah, menandakan ia sudah tiada semenjak saat itu.

Dan hari ini, ketika kristal Pangeran Tatalghia muda juga ikut pecah, seisi Tatalghia Kingdom menjadi sunyi seperti pemakaman.