Bab 94 - Kakek yang Lagi Mencari Cucunya

Orang-orang mengatakan gurun ini adalah padang pasir kematian.

Bukan hanya gersangnya saja yang menolak peradaban manusia, monster dan keringnya oasis semenjak dua ratus tahun yang lalu pun terus-menerus merenggut nyawa para pengembara.

Tapi di sisi lain, padang pasir ini adalah surga bagi para petarung dan tentara bayaran. Karena sedikitnya pasokan dan tingginya permintaan pasar, terutama baru-baru ini, inti monster dan hasil jarahan lain yang bisa didapatkan bisa menghasilkan banyak uang. Siapa yang tak tergiur melihat prospek seperti ini?

Sayangnya, banyak para petarung yang tak bisa kembali pulang setelah menambang monster di sini. Setiap kali regu yang datang, besar kemungkinan hanya setengah yang bisa pulang kembali.

Namun untuk seisi regu memutuskan kontak total adalah hal yang tak wajar. Tak ada yang mempercayai orang-orang yang datang ke sini begitu tak kompeten sampai-sampai semua dari mereka habis terlahap oleh bahaya padang pasir.

Beberapa hari yang lalu, Tiramikal Merchant Guild kehilangan komunikasi total dengan sebuah regu yang menjalani kontrak dengan mereka. Beberapa pejabat guild yang memiliki mata tajam melihat tanda-tanda permainan udang di balik batu sebuah keluarga yang ingin menjatuhkan seseorang dari keluarga lain.

Tentu saja keluarga yang dimaksud adalah Keluarga Blackwood. Karena hanya perseteruan kecil, awalnya tak ada yang menghiraukan ini.

Tak ada yang menyangka, beberapa kejadian ke kejadian berikutnya, membuat Tiramikal Merchant Guild kehilangan jejak-jejak mereka. Pesan terakhir yang dikirim adalah pesan darurat yang genting meminta bantuan.

Di pihak Tiramikal Merchant Guild, atau fraksi-fraksi yang mengirimkan petarung mereka untuk menjalankan misi guild tersebut, tak ada yang tahu kejadian di sebelah sana. Itu karena pesan darurat terakhir yang dikirim, memiliki sifat seperti surat kilat, artinya hanya sedikit saja informasi dalam pesan yang dikirim. Pesan semacam telegram yang tak dikirim melalui burung pengantar surat. Melainkan aliran gelombang mana jarak jauh antar dua Specialist. Tak ada yang ingin menggunakan metode ini kecuali saat kondisi fatal karena si Specialist pengirim pesan harus membayar pesan tersebut dengan item magic yang cukup mahal.

Jadi tanpa informasi yang cukup, Tiramikal Merchant Guild yang dibacking oleh puluhan fraksi-fraksi tentara bayaran... menggerakan regu penyelamat kecil yang terdiri dari sepuluh orang.

Pemimpin mereka, adalah seorang wanita awal tiga puluhan yang baru saja memulai bisnis mercenary-nya sendiri. Walau bisa dianggap pemula namun semua orang tahu kalau keluarganya adalah salah satu pemegang saham di guild. Jadi berlatar belakang kuat di Tiramikal Merchant Guild, pasukannya dilengkapi dengan senjata dan armor yang di atas rata-rata. Mereka adalah pilihan teratas untuk misi kali ini mengingat setiap fraksi tentara bayaran atau dikenal mercenary yang baru jadi seperti ini selalu haus dengan prestasi guna membuat fondasi dan reputasi mereka.

Wanita si pemimpin regu penyelamat itu bernama Sylvia Thunderstone. Seorang wanita yang memiliki paras biasa, tapi lekuk tubuhnya bisa dikatakan tingkat atas untuk wanita-wanita yang lahir dari keluarga bangsawan.

Sylvia adalah pemimpin mercenary yang memiliki pribadi liar, sulit diprediksi, dan terkadang-kadang kejam dalam mengambil keputusan. Sumbu temperamennya pun sangat pendek seperti dewi api yang bisa saja tiba-tiba meledak dan membakar semuanya.

Biarpun ia seorang wanita bawahannya tak ada yang berani menentang otoritasnya. Di sisi lain Sylvia bisa dibilang pemimpin yang efektif. Saat regu penyelamat tersebut mendapati musuh mereka adalah para mayat berjalan yang bisa hidup kembali, beberapa orang mulai getir hatinya dan menunjukkan rasa enggan untuk menyelesaikan misi. Bila saja itu pemimpin yang sedikit lebih lembek, regu tersebut sudah lari pontang-panting sekarang.

Ini adalah hari kedua regu penyelamat itu melangkahkan kaki di padang pasir kematian ini. Tapi dalam hati Sylvia sudah ada penyesalan melihat dua anggota regu gugur di hari pertama. Ia menggertakkan giginya saat mengingat bagaimana ia meremehkan kekuatan para mayat berjalan itu.

“Aku gak akan tertipu lagi,” kata Sylvia pada dirinya sendiri. Kemudian memerintahkan dua Archer dan seorang Ranger di regunya untuk memanah setiap mayat hidup yang muncul dari jauh.

Memanfaatkan serangan jarak jauh para pemanah, mereka bisa meredakan bahaya para mayat berjalan ini sebelum mereka mendekat. Bila saja serangan anak panah mereka menarik banyak mayat hidup, Sylvia akan menarik regunya mundur.

Setelah beberapa jam mereka berhasil menjatuhkan puluhan mayat hidup. Saat mengecek wajah mayat-mayat itu, atmosfer di dalam regu penyelamat menjadi kelam. Mayat yang mereka bunuh adalah orang-orang yang harusnya mereka selamatkan.

“Apa kita terlambat? Apa semuanya sudah menjadi mayat hidup?” tanya seorang Mage muda di regu tersebut. Memang benar, dua hari datang di padang pasir ini, mereka tak menemukan satu orang pun yang hidup.

Di hari ketiga, mereka mulai merasa lega. Di pagi hari itu, mereka melihat kamp tujuan mereka dan dari mana pesan darurat di kirim. Cepat saja Sylvia menyuruh bawahannya untuk melangkahkan kaki mereka.

Tapi ketika mereka sampai di situ, muka mereka menjadi kecewa. Tak ada satu pun orang yang selamat. Bahkan faktanya, tak ada satu pun sosok yang terlihat baik itu manusia melainkan mayat hidup seperti yang regu tersebut hadapi beberapa hari ini.

Walaupun begitu, mereka tahu dari rupa perkemahan yang sudah hancur, dan jejak-jejak pertarungan besar, tragedi terjadi di kamp ini.

Empat orang dari regu penyelamat memuntahkan isi perut mereka ketika tiba di sini. Karena busuknya aroma kematian masih mengambang-ambang di udara. Bahkan busuknya lebih parah ketimbang mereka di luar kamp, seperti tempat ini adalah pusat dari aura-aura kematian yang bisa membangkitkan kembali mayat untuk berjalan menjadi monster mematikan.

“Aneh... pertarungan besar terjadi di sini, tapi gak ada satu pun sisa-sisa mayat hidup itu,” gumam Sylvia. Logikanya, bila tempat ini adalah ladang pembantaian seperti yang mereka pikirkan, harusnya kamp ini sudah menjadi sarang para mayat hidup. Tapi tak ada satu pun dari mereka yang terlihat.

“Komandan! Sekitar lima puluh meter dari kamp ini Pathfinder menemukan bangkai lagi,” kata seorang pria paruh baya yang mengenakan baju kulit berwarna biru.

“Mayat hidup?” tanya Sylvia.

“Kami gak tau. Bangkai itu tidur-tiduran di pasir.”

“Jadi cuma bangkai yang masih mati?”

“Bisa jadi. Bisa jadi...”

Kemudian semuanya bergerak untuk melihat bangkai yang di maksud.

Tak seperti mayat hidup lainnya, mayat itu sama mengenakan pakaian yang belum membusuk. Bisa dilihat sekilas kalau ia baru mati beberapa hari.

“Jangan cari penyakit. Panah dia dari jauh,” kata Sylvia memerintah.

Seorang Archer dengan level tertinggi pun menaruh anak panah di busurnya.

cuusss

Anah panah yang terlontar, melesat ke udara, kemudian dengan proyeksi parabola kembali menukik tajam ke arah bangkai itu. Sang Archer sendiri percaya diri bisa tepat mengenai kepalanya dalam jarak sedekat ini.

ssieep

Tapi tak seperti yang di sangka, anak panah itu sama sekali tak mengenai kepala mayat tersebut. Lebih tepatnya kepala itu bergeser tepat sebelum anak panah hendak jatuh di atasnya.

“Mayat itu bergerak?”

“Ya. Jelas-jelas kepalanya bergerak tadi. Barangkali itu mayat hidup yang sudah bosan hidup, makanya tidur-tiduran seperti itu.”

“Panah sekali lagi,” perintah Sylvia kepada Archer itu.

Si Archer mengangguk. Ia melepaskan anak panah kedua. Kali ini Archer tersebut mengarahkan anak panahnya ke punggung mayat yang tergelatak di pasir jauh dari mereka.

cussss

...

ssssiep

Serangan Archer yang kedua kalinya pun dihindari oleh mayat itu.

Anggota regu penyelamat yang lain memberikan wajah tak puas. Tapi si Archer yang melepaskan anak panahnya, terbelalak menyadari sesuatu.

Anak panah yang ia tembakkan tadi, sengaja bising suaranya ia redamkan agar si mayat tak menyadari serangan yang datang. Lagi pula untuk menganggap mayat hidup memiliki refleks menghindari serangan Archer Tier 2 sepertinya adalah hal konyol. Tapi kenyataannya, dua serangan Archer itu, dihindari dengan mudah oleh si mayat sialan itu.

“Ternyata, walaupun mayat hidup, tapi refleksnya luar biasa. Sepertinya Summoner-nya bukan orang biasa, hehe,” komentar si Archer sambil tertawa pahit.

“Jangan cari alasan! Kalau yang ketiga masih gak kena juga mending Archer yang lain aja yang gantiin posisimu,” ketus komandan wanita Sylvia.

“Nyonya Thunderstone, aku hanya pemanasan. Sekarang aku bakal menggunakan skill rahasia keluargaku. Kalau kali ini masih gak kena juga, silahkan potong kupingku!”

Archer tersebut sebenarnya tak membual. Archer yang lain di regu itu tahu betapa mengerikannya skill rahasia yang dimaksud.

Pelan-pelan ia mengambil anak panahnya. Busurnya diangkat, satu matanya ditutup. Konsentrasi Archer itu bisa dibilang mengagumkan untuk level sepertinya. Barangkali, yang bisa menunjukkan taring skill rahasia keluarganya, hanya beberapa orang saja selama belasan generasi keluarga tersebut. Dan Archer itu adalah salah satunya.

cuuussssss

Anak panah sudah dilontarkan. Tapi kurang dari sedetik anak panah ketiga itu dilepaskan, kepala anak panah tersebut langsung bergetar. Tak lama kemudian, proyektil itu mulai kacau, terombang-ambing ketika lajunya memecah pekat udara panas padang pasir. Tapi anehnya, walau terlihat momentum anak panah itu gemetaran oleh dinding angin, kecepatan lajunya sama sekali tak kalah ketimbang anak panah biasa. Malah lebih cepat sekitar tiga puluh sampai empat puluh persen ketimbang laju kecepatan dua anak panah yang ia tembakkan sebelumnya.

Dan ketika anak panah itu mulai menukik ke bawah, momentumnya tiba-tiba saja menjadi semakin mengerikan. Akselerasi anak panah itu pun melonjak drastis, membuat bahkan yang paling waspada pun terkejut oleh perubahan yang terlalu mendadak seperti itu.

ssieeep

Kali ini, anak panah itu tepat mendarat di pantat kanan si mayat tersebut.

“Hadooooohh!” raung keluhan kesakitan terdengar jelas di padang pasir yang sepi itu. Membuat para regu penyelamat terkejut bukan main.

Sontak saja, mayat yang mereka kira sudah menjadi monster berjalan, melompat bangkit seperti kucing yang diinjak ekornya. Semua orang bisa melihat, sebuah wajah tua yang meringis kesakitan, sambil menarik panah dari pipi kanan pantatnya, melototi mereka dengan mata merah yang sudah berurat-urat.

“Lagi enak-enaknya aku tidur siang... tiba-tiba pantatku di panah. Afha-afhaan enthe?!”

Mayat itu adalah kakek tua. Sebenarnya, regu penyelamat itu salah mengira kalau kakek itu sudah mati. Faktanya ia adalah manusia yang masih sehat bugar, seorang kakek bersemangat, dan seratus persen masih hidup.

Ia adalah Kakek Lharu!

“Mayat itu bangkit!”

“Bisa ngomong juga!”

Teriak dua orang dari regu penyelamat yang tiba-tiba panik. Sylvia pun cepat-cepat mengambil keputusan.

“Mayat itu punya kecerdasan, pasti bosnya! Semuanya, serang mayat jelek itu sampai dia mati!”

cussss

buuzzztt

cuusss cussss

Barisan anak panah, sihir bola api dan serangan lainnya datang menghujani Kakek Lharu yang masih ada rasa mengantuk usai tidur siang di situ.

“Cucu-cucu kamfret! Kualat enthe semua!” geram Kakek Lharu, yang langsung melesat dari situ. Meninggalkan bayang-bayang karena kecepatan geraknya tak mampu ditangkap oleh mata manusia, bahkan oleh petarung yang terlatih sekali pun.

“Mayat itu menghilang!” seru salah seorang.

“Perkuat barisan! Jangan sampai kita diserang dari belaka—”

Belum sempat orang yang berseru itu menyelesaikan ucapannya, sosok yang datang secepat kilat di belakangnya... langsung mengangkat tendangan kakinya!

BAAAMM!!!

Kakek Lharu tak segan-segan mengeluarkan tenaganya untuk menendang pantat orang itu, sampai ia terlontar belasan meter ke atas udara!

Regu penyelamat yang lain, karena saking terkejutnya, terbelalak melihat rekan mereka terbang setelah pantatnya ditendang oleh kakek ini.

Belum sempat mereka menenangkan diri, korban Kakek Lharu yang kedua juga terlontar jauh setelah pantatnya di tendang.

BAAAM!

BAAAMMM!

BAAMMM!!!

Tak ada yang selamat dari amukan Kakek Lharu kalau ia sudah mengamuk!

Saat bangkit usai menghantam pasir yang terpanggang matahari, semuanya mengelus pantat mereka yang terasa perih sekali. Saking perih dan ngilunya mereka bisa merasakan tulang pantat mereka yang bergeser karena ditendang oleh kakek ini.

Wajah mereka menghitam karena saking malunya. Terutama Sylvia. Terlahir di keluarga saudagar kaya dan memiliki kekuatan, tak pernah ada yang menyerangnya dengan cara memalukan seperti ini.

“Dengar kalian cucu-cucu kualat... kalau gak mau ditendang seperti itu... lain kali, kalau lihat ada kakek-kakek tidur di jalan, jangan asal main tembak pantatnya!” saking seriusnya Kakek Lharu memberikan peringatan sampai air luarnya muncrat kemana-mana.

Beberapa orang tertawa pahit. Barulah semuanya menyadari kalau kakek ini bukanlah mayat hidup seperti yang mereka kira.

Sylvia, yang menahan rasa malu luar biasa, mencoba untuk menenangkan dirinya. Ini adalah orang pertama yang mereka temui. Barangkali ia tahu bagaimana nasib orang-orang di kamp lainnya.

“Kakek, kami mohon maaf sudah salah paham. Apa kakek sendiri yang selamat? Atau ada orang lain yang gak menjadi mayat hidup?” tanya Sylvia Thunderstone. Ia berusaha menaruh senyum dan mengikuti prosedur penyelamat yang baru menemukan korban yang harus ia selamatkan.

“Yang selamat?” Kakek Lharu mengusap-usap pasir di matanya, tapi gerakan itu seolah-olah seperti ia mengusap air mata. “Gak ada yang selamat. Yang lain pada mati jadi mayat berjalan.”

Para regu penyelamat saling bertukar pandang. Sylvia diam-diam mengepalkan bogemnya dan mengambil beberapa langkah maju ke arah kakek itu. “Kakek jangan khawatir. Kami datang ke sini untuk membawa kakek pulang.”

“Hah? Pulang? Ngapain pulang? Orang aku baru saja datang!” Kakek Lharu mendengus.

Sylvia mengerutkan alisnya. “Kakek apa berasal dari regu yang dikontrak Tiramikal Merchant Guild?”

“Hmph hpmh! Ngapain pula aku dikontrak guild kacangan seperti itu!” Kakek Lharu membusungkan dadanya, terlalu angkuh untuk disederajatkan oleh regu-regu pedagang yang biasanya harus membungkuk bila ia datang ke toko mereka. Tapi di mata para regu penyelamat, sikapnya benar-benar tak tahu diri.

“Kalau kakek bukan orang yang kami cari, terus ngapain kakek ada di sini?”

“Aku sedang mencari cucuku. Memang apa urusan kalian datang kemari?” tanya Kakek Lharu balik.

“Kami ditugaskan untuk menyelamatkan orang-orang yang mengirimkan pesan darurat dari sini.”

“Hmph hmph! Bocah bau kencur seperti enthe-enthe sekalian bakalan cuma jadi pasokan mayat berjalan! Mending kalian balik sebelum pada mati di sini!” kali ini Kakek Lharu mengangkat dagunya tinggi-tinggi, bersikap terlalu angkuh untuk berargumen dengan para “bocah bau kencur” di depannya.

Sylvia menggertakkan giginya. Berusaha sebisa mungkin menekan keinginannya untuk balas menendang pantat kakek sialan ini.